Minggu, 04 Maret 2012

Tarikh Baghdad Madinah al-Salam al-Bahgdady


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Kajian ilmu hadis bukanlah kajian yang mudah, sebab didalamnya terdapat permasalahan yang begitu kompleks, yang tidak bisa dikaji melalui satu aspek saja. Kajian ulum al-hadis yang rumit memaksa para pengkajinya untuk dapat menguasai segala bentuk disiplin ilmu yang terkait sebagai pisau bedah dalam mengkaji hadis. Meski hadis “hanya” terdiri dari sanad dan matan saja, disiplin keilmuan yang terkait dengan dua terma tersebut sangatlah banyak, terlebih kaitannya dengan pembahasan sanad.
Dari beberapa pisau bedah yang digunakan untuk mengkaji hadis, terdapat pembahasan yang khusus membahas masalah yang terkait dengan para periwayat hadis, yang dikenal dengan Ilmu Rijal al-Hadis. Disiplin ilmu ini membahas mengenai kepribadian perawi dari kelahiran, kondisi sosial, keilmuwan serta aspek lainnya secara komprehensif. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberi informasi yang jelas mengenai kepribadian seorang periwayat terkait dengan hadis yang disampaikannya.
Ilmu Rijal al-Hadis sangatlah sulit, sebab kajiannya terkait dengan ilmu tarikh al-ruwah yang terkait dengan biografi periwayat serta ilmu jarh wa at-ta’dil yang terkait dengan aspek kepribadian seorang perawi dari kelahirannya hingga wafatnya. Aspek sejarah sebagaimana diketahui khalayak umum terbagi menjadi dua, yakni yang benar-benar sejarah serta hasil interpretasi dari para penelitinya, sehingga terkadang tampak data-data yang kontradiktif. Hal ini pula yang membuat para peneliti pada zaman berikutnya mengalami kesulitan untuk melakukan cross check data.
Namun ulama tidak kehabisan daya dan upaya untuk mempermudah kajian ini. Mereka yang berkonsentrasi pada disiplin ilmu hadis melakukan sebuah terobosan dengan menyusun kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat hadis. Selain memudahkan, kitab-kitab yang berisi tentang ihwal periwayat hadis juga dimaksudkan untuk memberikan informasi yang selengkap-selengkapnya, sebab begitu banyak kitab-kitab yang membahas tentang ihwal periwayat hadis sehingga dapat dijadikan rujukan untuk melakukan cross check data.
Tarikh Baghdad Madinah al-Salam merupakan kitab yang membahas tentang ihwal periwayat hadis diantara kitab-kitab lainnya. Kitab ini lebih dikenal dengan nama Tarikh al-Baghdady, dinisbatkan kepada pengarangnya, Khatib al-Baghdady. Sesuai dengan nama kitabnya, maka nama-nama periwayat hadis yang tercantum disini kebanyakan mereka yang lahir dan tinggal di Baghdad.
B.       Rumusan Masalah
Pembahasan kali ini akan menjelaskan tentang:
1.      Siapakah Khatib al-Baghdady ?
2.      Bagaimakah latar belakang kehidupannya ?
3.      Apakah sebenarnya kitab Tarikh Baghdad Madinah al-Salam ?
4.      Apa kelebihan dan kekurangannya ?
5.      Bagaimanakah seharusnya kitab Tarikh Baghdad dikaji dan digunakan ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.       Biografi Khatib al-Baghdady
Khatib al-Baghdady memiliki nama asli Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit  bin Ahmad bin Mahdy Abu Hasan al-Khatib, keturunan Arab, tinggal disebuah desa yang sangat subur yang bernama Khasasah tepi sungai euphart. Ibnu Syahin dalam kitabnya menjelaskan bahwa Khatib lahir pada hari Kamis Jumadil Akhir tahun 392 H di desa yang penduduknya bekerja di sungai. Desa tersebuat adalah Darzijan, desa yang dekat dengan sungai Tigris di tepi barat Baghdad. Tempat tinggalnya merupakan salah satu dari tujuh peradaban yang merupakan tempat tinggal kaisar Persia. Khatib wafat pada pertengahan Syawal tahun 412 H.
Khatib merupakan nama laqobnya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah nama Khatib merupakan laqob yang diberikan karena ia adalah seorang Khatib, ataukah karena ayahnya yang seorang Khatib di Darzijan. Pendapat yang rajih adalah Khatib seorang  Khatib jumat sebagaimana ayahnya, yang senada dengan ucapan syekh abdul aziz bin Muhammad  al-nakhasyabi. Ibnu kasir juga menambahkan bahwa Khatib adalah Khatib jumat di darjizan. Namun menjadi rancu ketika terdapat fakta bahwa jarak Baghdad-darzijan lebih dari 25 KM, jarak yang terlalu jauh dan mustahil tiap jumat pergi kesana sekedar untuk khutbah, menurut Basyar ‘Awwad.    
B.       Latar Belakang Sosial
Untuk setting sosial yang terjadi selama kehidupan Khatib dapat dibedakan menjadi dua;
1.      Bahgdad pada saat itu merupakan pusat pemerintahan bani abbasiyah setelah dinasti umaiyyah hancur. Pusat pemerintahan yang dulunya berada di madinah dipindah ke Baghdad. Saat itu pula bahgdad berubah menjadi sebuah kota yang mengalami perkembangan peradaban yang begitu maju. Selain menjadi pusat peradaban, Baghdad juga menjadi pusat kajian ilmiah baik kajian umum maupun agama. Dan pada saat itu pula hadis mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga wajar Khatib mempelajarinya disamping ilmu-ilmu lainnya. Kondisi ini tentu mendukung Khatib untuk melakukan kajian ilmiah serta perlawatan mencari hadis.
2.      Bahgdad menjelang kehancuran ketika pada abad keenam Tughril Bek al-Saljuk menyerang Baghdad yang berada dibawah kekuasaan dinasti buhaiwiyah. Hal ini terjadi berkat konspirasi yang dilakukan ibnu muslimah yang merupakan salah satu petinggi abbasiyah dengan Tughril Bek al-Saljuki yang berakhir dengan kemenangan mereka. Selama proses tersebut, Arslan al-Basasiri yang diminta oleh bani Fatimiyah menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap ibnu muslimah. Setelah tughril bek meninggalkan Baghdad, al-Basasiri dengan pasukan yang dihimpunnya memulai peperangan via perahu di tepi barat sungai tigris. Selama kurang lebih 2 hari pertempuran tersebut, ibnu muslimah akhirnya terbunuh yang membuat kondisi Khatib menjadi berbahaya. Khatib memutuskan untuk pergi ke damaskus dan menetap disana untuk beberapa waktu. Sempat mengkaji kitab-kitab karyanya sebelum akhirnya dikeluarkan dari damaskus sebab dianggap tidak sesuai dengan ideologi syiah rafidah yang kebetulan menjadi paham teologi rakyat Damaskus saat itu.        
C.       Pendidikan
Khatib menimba ilmu pada beberapa orang, khususnya bidang membaca dan menulis, diantaranya; Hilal bin Abdullah bin Muhammad, Abu Abdullah ath-Thiby yang keduanya tinggal di Baghdad. Menurut suatu riwayat, Khatib pertama kali mendengarkan hadis pada tahun 403 H saat umurnya 11 tahun. Guru pertamanya adalah Muhammad bin ahmad bin Muhammad bin ahmad bin rizq yang terkenal sebagai ibnu rizqawaih 325-412 H. Khatib mendapatkannya dengan metode imla’. Khatib hanya belajar selama tiga tahun pada ibnu rizqawaih kemudian pergi. Saat kembali bertemu dengan gurunya tersebut, ia mendapati ibnu rizqawaih telah buta, sehingga ia memutuskan untuk menemani guurnya tersebut hingga akhir hayatnya.
Khatib tidak hanya belajar hadis, ia juga mempelajari fiqh. Belajar hadis tidak seperti belajar hadis yang bisa dimulai sejak dini. Perlu beberapa bekal yang harus dikuasai sebab fiqh tidak sama dengan hadis. Fiqh lebih kompleks sebab membutuhkan kematangan berfikir serta pengetahuan yang komprehensif atas ilmu-ilmu yang mendukung kajian fiqh. Terjadi perbedaan pendapat tentang guru pertama Khatib tentang ilmu fiqh.
Pendapat pertama mengatakan Khatib belajar fiqh pada Imam Abu Hamid Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad al-Isfarayaini, yang merupakan seorang guru di masjid Abdullah bi mubarok, yang beraliran syafi’i. namun ketika itu Khatib masih kecil, sebab masa hidup al-isfarayaini pada tahun 344-406 H. sedangkan pendapat yang diunggulkan adalah Qadhy abu thayyib thahir bin abdillah ath-thabary yang hidup pada tahun 348-450 H yang juga seorang Ulama Syafi’iyah.
Meski sempat belajar hadis, Khatib sejatinya memfokuskan kajiannya pada masalah hadis. Kajian fiqh hanya sebagai selingan saja sebab ia kembali pada Ibnu rizqawaih pada 406-412 H ketika ibnu rizqawaih buta, sebagai bentuk kepeduliannya terhadap hadis. Selama masa itu, Khatib melakukan proses sima’I serta mendapat ijazah periwayatan dari ibnu rizqawaih yang merupakan seorang yang  produktif dimana ia mempunyai 24 karya yang focus pada kajian hadis dan rijal. Hal ini terlihat pada kitab tarikh yang disusunnya. Khatib sebagaimana muhaddis lainnya memulai perlawatannya di Baghdad terlebih dahulu dengan mendatanginya satu persatu, seperti daerah seperti kuffah, ka’bar, ya’qub, ambar dan beberapa tempat lainnya sebelum akhirnya menuju daerah lain.
Khatib kemudian bertemu dengan abu bakar ahmad bin Muhammad ibnu ghalib al-khawarizmy yang terkenal dengan al-barqany 336-425 H. Albarqany membuat Khatib takjub sebab ia merupakan sosok yang kompleks dalam bidang keilmuwan serta berkepribadian sangat baik. Ia bukanlah orang asli Baghdad, namun ia merupakan pendatang yang memutusakn untuk tinggal di Baghdad. Menjadi menarik kemudian ketika tahu bahwa al-barqany banyak menghafal hadis. Khatib kemudian menulisnya dan menyusunnya menjadi satu buah kumpulan hadis.          
D.       Perlawatan
Khatib tidak puas hanya dengan menemui ulama’ Baghdad saja. Ia lantas melakukan perlawatan guna mencari guru-guru lain terutama tentang hadis. Khatib sendiri mengunjungi beberapa tempat dalam perlawatannya.
1.      Bashrah
Selesai menemui seluruh ulama’ Baghdad, Khatib memulai perlawatannya ke basrah untuk pertama kali pada tahun 412 H. informasi pertama yang didapatinya adalah tentang Muhammad bin Ibrahim bin hauran (412 h.). Khatib bertemu dengan guru Ibrahim bin hauran, abu umar qosim bin ja’far bin abdul wahid al-hasyimi yang merupakan perawi kitab sunan abu dawud. Gurunya yang adalah abu hasan ali bin qosim bin hasan al-syahid, abu Muhammad hasan ibnu ali al-saburi. Perlawatannya di bashrah hanya sebentar sebab ia segera kembali ke Baghdad karena ayahnya meninggal.
2.      Naisabur
Pada masa ini, tiga tahun setelah kepergian ayahnya, Khatib memulai perlwatan ke berbagai daerah. Ia mendapat nasehat dari al-barqany untuk memilih dua tempat, antara mesir dengan naisabur, sebab kedua tempat tersebut memiliki ulama-ulama hadis.  Mesir pada saat itu memiliki seorang tokoh yang bernama ibnu nuhhas. Sedangkan naisabur banyak terdapat ashahbul asham. Al-barqany memberi pertimbangan bahwa jika melakukan perlawatan ke mesir kemudian mati disana, perlawatanmu akan sia-sia. Jika ke naisabur dan ternyata mati disana, kamu akan tetap dikenang sebab disana terdapat jamaah yang setidaknya salah seorang dari mereka akan mengenangmu. Fakta lain yang mendukung Khatib untuk pergi ke naisabur adalah umur an-nuhhas saat Itu 29 tahun, selang  setahun kemudian ia meninggal.
Tidak ada yang tahu pasti kapan Khatib meninggalkan Baghdad pada tahun 415 h. al-ahwazi mengatakan pada bulan ramadlan, Abdullah al-umawy mengatakan pada ahad, 25 sya’ban 415 h.  dalam perjalanannya ke naisabur, tentu ia melewati beberapa kota yang dimungkinkan untuk mendengar hadis. Nahrawan adalah kota pertama, sebagaiman dituturkan Abdullah al-qaththan atau ibnu qutaity. Kemudian Dr.  al-amiri berkesimpulan bahwa Khatib telah berada di naisabur pada bulan rajab. Pada tahun yang sama, Khatib juga melintasi dinawar dan ray.
Dalam perjalanannya hingga sampai naisabur, ia sempat kembali ke Baghdad sebab pada tahun 417 guru besarnya meninggal, yakni abu hazm umar bin ahmad bin Ibrahim al-abduwiyyi. Perjalanannya ke naisabur ditemani oleh abu hasan ali bin abdul gholib bin hasan bin ja’far al-baghdady. Gurunya adalah murid-murid terbaik abu abbas al-asham; abu hasan ali bin Muhammad bin Muhammad bin ahmad bin usman ath-tharazy 422 h. yang merupakan murid terakhir yang sima’I kepada. Kemudian abu hazm umar bin ahmad bin Ibrahim al-abduwiyyi 417 h. yang merupakan guru yang banyak diikuti serta dikagumi oleh Khatib. Kemudian guru-guru yang tsiqah, makmun abu said muhhamd bin musa bin fadli ash-shoirofi 421 h. Beliau termasuk orang yang paling banyak mendapatkan hadis dari abu abbas al-asham. Kemudian abu bakar ahmad bin hasan al-harasyi al-hairy al-naisaburi 421 h., abu bakar ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-asyna’I al-shaodilany al-naisaburi 416 h. sedangkan guru-guru Khatib lainnya adalah para pembesar naisabur.  
3.      Ashbahan
Khatib memulai perlawatan ke ashbahan pada tahun 421 h dengan tujuan utama abu nu’aim al-ashbahani yang merupakan tokoh terbesar saat itu. Khatib melakukannya sebagaimana wasiat gurunya, al-barqany. Ia berada di ashbahan pada bulan dzul qa’dah 421. Setahun kemudian ia kembali ke Baghdad.
Khatib banyak memahami periwayatan abu nu’aim termasuk juga dari para pembesar ashbahan. Metodenya dengan sima’I dan ijazah yang terkumpul dalam jumlah yang banyak, tertera dalam kitab tarikh dan beberapa kitab lainnya. Khatib juga menyusun kitab khusus yang didapatkan dari abu nu’aim.
Adapun guru-guru yang ditemuinya adalah; abu hasan ali bin yahya bin ja’far bin abdukawaih 422 h, Husain bin Ibrahim bin Muhammad al-jammal 421 h, abu Husain ahmad bin Muhammad bin Husain ibnu fadzasyah  at-tani yang merupakan periwayat jalur thabrani 433 h.
4.      Kembali Baghdad
Ashbahan merupakan perlawatan terakhir dlam rangka mencari sanad dengan kualitas ternaik. Perlawatan yang dilakukannya ditujukan untuk mempersiapkan susunan materi tentang hadis, apalagi saat itu Baghdad merupakan pusat pendidikan dan kebudayaan islam serta sumber yang berkaitan dengan hadis dan ulama hadis.
Sekembalinya ke Baghdad, ia menyempatkan diri untuk mengkaji hasil perlawatannya, yakni sepuluh kitab yang berisi sepuluh juz. Khatib membaca shahih bukhari, menyempurnakan kitab yang dibawa ismail bin ahmad al-hairy hanya pada tiga tempat saja. Dua majlis ia mulai pada malam hari, tepatnya setelah salat maghrib dan berakhir ketika solat subuh tiba. Saat akan membaca pada majlis ketiga, lewatlah seorang tua bersama rombongannya untuk menuju pasar. Kemudian Khatib membacakan kitab shahih bukhari pada mereka mulai waktu dluha hingga maghrib, setelah maghrib hingga subuh. Kemudian rombongan tersebut melanjutkan aktifitasnya.
Adz-dzahabi mengatakan bahwa waktu tiga hari untuk membaca shahih bukhari sangatlah cepat. Khatib melanjutkan pembacaannya ke makkah selama lima hari. Setelah rangkaian pembacaan kitab di Baghdad dan mekkah, Khatib mulai menyusun tarikh Baghdad madinah al-salam dan selesai tahun 445 h. tahun ini juga Khatib menunaikan ibadah haji dan memohon pada allah agar ia mampu meriwayatkan apa yang ia tulis pada tarikh Baghdad.
5.      Pergi Haji dan pergi ke Syam
Tahun itu, tahun 445 h. Khatib memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. Namun dalam perjalanannya, ia tidak ingin kehilangan kesempatan dengan mengunjungi guru-guru di negeri syam. Khatib menemui abu Abdullah Muhammad bin salamah bin ja’far al-qadla’I al mishry, abu qosim abdul aziz bin bundar bin ali al-syairozy dan Muhammad bin ahmad bin Abdullah al-ardastany. Khatib juga sempat muraja’ah shahih bukhari miliknya kepada Karimah binti Ahmad al-marwaziyah, seorang yang terkenal aakan periwayatan shahih bukhari. Khatib tidak tinggal di mekkah setelah menunaikan haji, melainkan langsung pulang megikuti rombongan.
Khatib tinggal di syam begitu singkat sebab 1 muharram 447 h ia kembali ke Baghdad, sehingga ia bisa ikut menshalati gurunya, syaikh ali bin muhassin al-tanukhi yang wafat pada 2 muharram 447.
6.      Peristiwa Mihnah dan pergi ke Damaskus
Pada saat itu, pertengahan akhir abad kelima hijriyah, dinasti buwaihiyah mengalami kehancuran. Tughril bek al-Saljuki, seorang sultan dari dinasti saljuk menyerang buwaihiyah yang saat itu wazirnya adalah abu qosim ali bin hasan yang dikelan dengan ibnu muslimah. Ibnu muslimah khawatir akan dinasti fatimiyah yang hendak menguasai buwaihiyah. Dinasti fatimiyah telah melakukan deal dengan salah seorang petinggi buwaihiya, Arslan al-basasiri. Al-basasiri kemudian memperkuat pasukannya dan menunggu tughril Bek keluar Baghdad.
Setelah tughril bek keluar, al-basasiri berinisiatif masuk pada ahad 8 dzulqo’dah dari tepi sungai tigris dengan menghimpun ahlu al-karkh, penduduk tepi barat sungai tigris, padahal mereka dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Dua kelompok yang pro kontra selalu berperang setiap harinya diatas sungai tigris. Selang beberapa waktu khalifah yakni ibnu muslimah menggali parit disekitar daerahnya. Al-basasiri kemudian membagi penduduk tepi barat sungai tigris sebagai pasukan biasa dan ahlu karh sebagai pasukan khusus dan mengajak mereka untuk memerangi ibnu muslimah. Setelah berhasil mengalahkan ibnu muslimah, khalifah dipindah ke daerah sungai euphart. Tak lama kemudian khalifah meninggal sebab demam selama berada di daerah khurasan.
Khatib sendiri memiliki hubungan yang erat dengan ibnu muslimah terkait permaslahan hokum. Terjadi kesalahpahaman yang dipahami oleh orang yahudi bahwa tindakan Khatib yang tidak mengambil dasar pada hadis nabi sebab perintah ibnu muslimah diangap sebagai hadis nabi. Khatib pun menjelaskan kalau itu semua palsu. Khatib dulunya adalah seorang hanabilah yang kemudian menjadi syafi’iyah.
Ketika ibnu muslimah terbunuh dengan begitu sadis pada peperangan ini, Khatib tidak aman lagi. Orang-orang yang dahulu menjadi pelindungnya berubah menjadi musuh-musuhya yang memaksa Khatib untuk pindah ke damaskus daerah syam. Khatib merasa kecewa dengan keputusan yang diambil oleh al-basasiri pada tahun 451 h, Khatib memutuskan untuk tinggal di damaskus dan mendirikan perkumpulan yang besar serta menyampaikan hadis-hadisnya di kampus damaskus, yang diantaranya kitab tarikh Baghdad. Merreka yang menjadi mustami’ adalah ulama Baghdad, ahli hadis, ahli budaya dan orang-orang yang tertarik akan kitan tersebut.
Saat itu damaskus berada dibawah kuasa dinasyi ubaidiyah yang menurut mereka masih dibawah dinasti fatimimyah. Ubaidiyah mencari siasat agar mereka mendapat kemudahan. Sebab saat itu penduduk damaskus merupakan ahlus sunnah yang ingin mengembangkan keilmuan mereka. Namun mereka terhalangi oleh aqidah-aqidah dan politik damaskus. Sebab itulah mereka mulai tidak senang dengan kehadiran Khatib.
Maka seseorang dari golongan syiah rafidah melapor pada pemimpin pasukan damaskus bahwa Khatib melakukan perlwanan dengan menyebarkan kebaikan para sahabat serta bani abbasiyah ke seantero damaskus. Khatib dimintai keterangan mengenai masalah ini dan diputuskan Khatib akan dibunuh, atau seorang sahabatnya, al-hamim al-syarif abu qosim ali bin Ibrahim bin abi al-jin al-‘alawi yang akan membunuhnya. Namun wali yang menghakimi Khatib berkata bahwa sekelompok syiah akan  membunuh Khatib jika ia berani membunuh sahabatnya tersebut yang kebetulan termasuk orang yan masyhur di irak.
Wali yang menghakimi Khatib tersebut akhirnya mengeluarkan kahtib dari damaskus tepat pada hari senin 18 safar 459 h. Kemudian Khatib menuju baitul maqdis untuk melakukan ziarah serta bertemu dengan para ulama yang senantiasa beri’tikaf di masjid.     
7.      Kembali ke Baghdad
Tahun 462 h, Khatib telah berumur 70 tahun dan memutuskan untuk kemabli ke Baghdad meski suasana kurang kondusif untuknya. Beberapa ulama yang pernah mengikuti pengajian hadisnya. Kemudian Khatib berkata bahwa ia lebih senang kembali ke perguruan tinggi tempat ia menyampaiakn hadisnya dengan seorang yang mau membatunnya lebih baik daripada harus kembali. Hal inilah yang menyebabkan Khatib sangat ingin kembali ke bahgdad.
Kemudian seorang murid sekaligus sahabatnya, ahmad al-syihi menjamin keselamatan Khatib selama perjalanan. Mereka berdua memulai perjalanan pada bulan sya’ban dan melewati torbulus serta menetap disana beberapa hari. Kemudian mereka juga sempat menajdi pemerah susu dan tinggal beberapa hari juga disana. Akhirnya mereka sampai di Baghdad pada bulan dzulhijjahvi rahbah. Setelah berpisah selama lebih dari sebelas tahun, Khatib akhirnya memutuskan untuk menjauhi urusan kenegaraan.
Khatib berdiam diri di hujrah dekat darb al-silsilah disebelah tempat pembelajaran. Ia juga mempunyai seorang istri yang memberinya keturunan yang baik. Namun istrinya meninggal lebih dulu demikian pula anak-anaknya. Dengan demikian, Khatib tidak memiliki generasi penerus dirinya. Tidak didapati pula kerabat-kerabatnya. Maka Khatib mendermakan seluruh hidup dan hartanya sebab tidak adanya pewaris dari dirinya.
Saat menunaikan hajinya, ia sempat minum air zamzam sebnyak tiga kali dengan mengharap tiga hal. Pertama, ia ingin menyampaikan hadis-hadisnya di kampus al-manshur. Kedua, ia ingin membaca tarikh Baghdad dikalangan orang Baghdad sendiri. Ketiga, ia ingin dimakamkan di Basyar al-Hafi. Sekembalinya ke Baghdad pada akhir tahun 462, ia sempat membaca tarikh Baghdad.  Keinginan Khatib semuanya terpenuhi. Tarikh Baghdad ia bacakan di kediamannnya, kemudian ibnu kasir menyebutkan bahwa nasir bin Muhammad bin ali al-salami yang merupakan putera dari muhaddis terkenal, Muhammad bin nashir, pernah mengaji tarikh Baghdad di jamiah al-manshur dan kemudian membacakan ulang kepada khalayak di tempat itu pula. Namun basyar ‘awwad menyatakan bahwa pendapat yang unggul adalah Khatib mengkajinya di kediamannya, darb al-silsilah.
E.        Karya-Karya
Banyak pendapat yang berbeda mengenai jumlah karya yang dihasilakn oleh Khatib. Mulai dari 79 kitab, 87 kitab, hampir seratus kitab, 60 kitab, 50 kitab, 54 kitab dan lain sebagainya. Namun pendapat yang mendekati benar adalah 60 kitab, sebagaimana yang disampaikan ibnu najar dengan pertimbangan; Khatib telah mulai menulis sejak masa kecilnya. Tidak disebutkan secara terperinci nama-nama kitab yang dikarangnya selain tarikh Baghdad. Namun karya Khatib meliputi masalah hadis secara kompleks, fiqh, ushul fiqh, sejarah dan kebudayaan.
F.        Murid-murid
Sebagai ulama besar, sangat tidak mungkin seorang Khatib tidak memiliki murid yang menimba ilmu darinya. Diantaranya adalah; Ibnu al-Bashri 404-462 H, Muhammad al-Kattani 389-466 H, Abu Manshur al-Baghdady 437-468 H, Ibnu al-Qadli Abi Ya’la 443-469 H, Ibnu Dunaiz 474 H, Ibnu Makula 480 H, Husainy al-Baghdady 405 H, al-Khusyu’I 482 H, abu al-Fath al-tankati 406-486 H, Ibnu al-baqylani 404 H, abu nasr al-mujly 442-488 H, Humaidi al-andalusy 488 H, abu Mansur al-syihi 489 H, ibnu al-khadibah 489 H, abu al-fath al-syafi’I 410-490 H, abu said al-haramy 491 H, abu al-qasim al-maqdasi 432-492 H, al-abdary 493 H, salman al-dimasyqi 495 H, abu ‘ali al-baghdady 426-498 H, ja’far al-bahgdady 417-500 H.
Adapun yang statusnya hanya sebagai periwayat kitab tarikh bahgdad; Ibnu thiwary 411-500 H, abu ishaq al-qusyairy 501 H, abu bakar al-isybily 501 H, abu umar al-walsyjirdy 440-502 H, abu hasan al-harimy 451-502 H, al-Khatib at-tibrizi 421-502 H, abu fityan al-dihistani 428-503 H, ibnu al-khosysyab 505 H, abu turab al-dimasyqi 506 H,abu ghalib al-harimy 430-507 H, abu bakar al-syasyi 429-507 H, al-saji 445-507 H, ibnu abi al-jin 424-508 H dan yang lainnya.


BAB III
KITAB TARIKH MADINAH AL-SALAM (TARIKH BAGHDAD)
A.       Muqaddimah serta Penamaan Kitab
Kitab tarikh Baghdad cetakan dar el-gharb al-islami terbilang unik. Pasalnya untuk cetakan ini memiliki tiga muqaddimah, yakni dari Dr. Ahmad Shalih al-‘Ali yang disampaikan oleh Muhammad bin Ishaq, kemudian oleh pentahqiq sendiri yakni Prof. Dr. Basyar ‘Awwad Ma’ruf serta dari Khatib al-Baghdady sendiri. Hal ini terjadi sebab pentahqiq, Prof. Dr. Basyar ‘Awwad Ma’ruf merupakan ulama’ kontemporer, mengingat dar el-gharb al-islami mencetaknya pada tahun 2001/1422 H, sedangkan untuk cetakan pertama terjadi pada tahun 1931 M.[1] terdapat rentang jarak 69 tahun, jarak yang lumayan lama untuk kemajuan kelimuwan.
Muqaddimah yang disampaikan oleh Dr. Ahmad Shalih al-‘Ali merupakan sebuah apresiasi terhadap Prof. Dr. Basyar ‘Awwad Ma’ruf terhadap proses tahqiq yang dilakukannya. Apalagi Ahmad Shalih merupakan guru besar dalam kajian Rijal terutama ilmu hadis. Menurut Ahmad Shalih, ilmu hadis dan rijal merupakan kajian yang mendapat perhatian penting oleh kalangan bangsa arab pada awal-awal perkembangan pemikiran bangsa arab.[2] Hal ini ditandai pula dengan memberikan proporsi yang cukup besar dengan memposisikan pada level yang tinggi mengingat ulama terdahulu belum mengarah pada kajian ini dengan melakukan kritik sanad dan matan.
Ahmad shalih juga menjelaskan bahwa sejak ketertarikan Khatib akan ilmu hadis, ia memulainya dengan belajar pada para ulama Baghdad serta menjadikan mereka sebagai suri tauladan yang mendorong Khatib untuk melakakukan hal yang sama contohnya tahqiq kitab. Dalam perlawatannya, Khatib tidak merasa puas dengan apa yang didapatkannya di Baghdad, ia melanjutkan perlawatannya ke beberapa daerah lain di Iraq, daerah timur serta syam. Ia bertemu dengan para ulama hadis didaerah yang ia kunjungi dan tidak berhenti pada satu daerah saja. Ia pun kembali ke Baghdad dan berkosentrasi di darb- al-silsilah, sebuah tempat yang merupakan pusat keilmuwan, hidup dengan qanaah hingga ia wafat dan dikebumikan di bab al-harb, pojok utara di tepi barat Baghdad.
Ahmad shalih lebih lanjut mengulas tentang kiprah Khatib yang menulis tentang ulama terdahulu hingga yang semasa dengannya sebab rentang zaman yang tidak memugkinkan ulama tersebut bertemu. Dijelaskan pula bahwa mereka bukanlah ulama yang dekat dengan pemimpin, sebab tujuan mereka adalah mengabdi pada ilmu yang dimilkinya. Tarikh Baghdad merukan karya terbesarnya yang berisi lebih dari 7780 orang yang hidup di Baghdad, baik yang kahir dan tinggal disana atau hanya sempat menuntut ilmu disana, sebab Baghdad merupakan pusat kajian ilmu hadis saat itu. Padahal saat tarikh tersusu, kondisi disana dalam situasi politik yang tidak normal, para penduudknya disibukkan urusan kenegaraan, namun semangat kelimuwan tidak padam serta para huffadz tidak terganggu untuk mengamalkan ilmu mereka.
Kemudian Dr. Basyar ‘Awwad selaku pentahqiq kitab Tarikh Baghdad memulai muqaddimahnya dengan memuji-muji kota Baghdad, baik sebagai tempat kelahirannya, pusat perkembangan keilmuwan serta kota yang sempat menjadi sentra kepemimpian islam. Basyar ‘Awwad menjelaskan bahwa dalam tahqiqnya, ia membagi kedalam 4 pasal. Pertama tentang biografi al-baghdady, latar belakang hingga keilmuwannya. Kedua, basic source dan urgensi tarikh Baghdad. Ketiga, tentang hadis yang terkandung dalam tarikh Baghdad, baik dari aspek perawinya serta beberapa pendpat muta’akhkhirin. Keempat, menjelaskan alsan mentahqiq kitab tarikh Baghdad.
Hal menarik lainnya adalah ketika Basyar ‘awwad melakukan tahqiq kitab tarikh Baghdad di daerah-daerah yang dingin, antara lain Madinah, Mesir, Tunisia, Aljazair, Paris, London, Dublin dan Istanbul. Proses tahqiq yang dilakukannya meliputi koreksi teks, membandingkan dengan teks yang unggul dan telah diteliti serta kepada orang yang juga melakukan kajian yang sama, isyarat dan hal-hal yang tertulis jelas pada kitab, penyusunan materi kitab, pensyakalan lafadz serta nama-nama yang tertera didalamnya. Penjelasan yang dilakukan oleh basyar ‘Awwad adalah pensyakalan teks, takhrij sekitar seribu hadis serta menjelaskan kondisi hadis-hadis tersebut.
Judul asli kitab ini adalah Tarikh Madinah al-salam wa akhabru muhaddisiha wa dzikru quththaniha al-ulama’ min ghairi ahliha wa waridiha, sebagaimana tertera dalam cover kitab cetakan Beirut. Namun cetakan mesir bernama tarikh bahgdad atau madinah al-salam.
B.       Isi
Kitab ini berisi seratus enam bagian hadis, setiap juz berisi 40 halaman yang terbagi menajdi 14 jilid. Dalam muqaddimah yang disampaikan Khatib, dapat disimpulkan menajdi tiga bagian; pertama tentang kondisi Baghdad secara komprehensif baik dari aspek penduduknya, kondisi keilmuwan, politik, serta panorama alam. Kedua, berisi tentang geografis Baghdad dibandingkan dengan madinah. Ketiga berisi tentang kota-kota serta penamaan para sahabat. Untuk muqaddimah ini saja Khatib menulisnya dalam lima juz dari 106 juz yang ada.
Selebihnya kitab ini memuat biografi para ulama’ hadis bahgdad dan orang yang pernah datang ke bahgdad baik untuk belajar ataupun pindah dari daerah asalnya. Cakupannya adalah para khalifah, orang-orang yang dimuliakan, para pembesar bahgdad, para mufti, para ahli fiqh, para ahli hadis, para qari’, para zahid, orang-orang shalih, ahli kebudayaan serta ahli sastra. Khatib menggolongkan mereka menjadi empat kelompok;
1.      Orang yang lahir di Baghdad atau daerah yang dekat dengan Baghdad. Atau luar Baghdad yang kemudian menetap di Baghdad.
2.      Orang Baghdad yang lahir di Baghdad tapi pindah ke daerah lain namun masih lebih fanatic ke Baghdad.
3.      Orang yang bertetangga dengan Baghdad, yang tinggal didaerah seperti nahrawan, ambar, dan lain sebagainya.
4.      Orang luar Baghdad yang memuji Baghdad serta pernah belajar disana serta menjadikan Baghdad sebagai tanah kelahirannya.    
C.       Sistematika Penulisan Kitab
Khatib menyusunnya secara alfabetis, namun ia memulainya dengan kata-kata Muhammad, ahmad kemudian ali. Setelah ketiga nama tersebut, dilihat pula nama bapak sesuai dengan alfabetis pula. Namun Khatib lebih spesifik lagi, selain diawali dengan kata-kata Muhammad, ahmad kemudian ali, lantas nama bapak yang sesuai alfabetis, didahulukan pula orang yang wafat terlebih dahulu.
Pendahuluan penyusunan dengan kata-kata Muhammad dan ahmad tentu bertujuan untuk memuliakan nabi, sebagaimana kitab-kitab rijal yang disusun secara alfabetis layaknya tarikh kabir karya imam bukhari. Khatib mengkhususkan kembali dengan kata-kata ibnu ishaq setelah Muhammad, ahmad atau ali sebab ibnu ishaq merupakan ulama hadis pertama di lingkungan Baghdad. Setelah penyusunan secara alfabetis, Khatib menambahnya dengan bab al-kunna bagi periwayat yang dikenal dengan kuniyahnya ataupun tidak. Lantas Khatib juga menulis perwai wanita.
Untuk sumber penyusunannya, Khatib membaginya menjadi enam terma;
1.      Nama, keturunan, penisbatan, kunyah dan informasi lain mengenai tokohnya
2.      Guru-guru mereka
3.      Ulama yang meriwayatkan sesuatu dari mereka
4.      Fatwa ulama tentang jarh dan ta’dil mereka
5.      Hadis, hikayat atau cerita yang mereka riwayatkan
6.      Lahir, meninggal dan kuburan mereka
Dalam proses penyusunannya Khatib melakukan beberapa kali pengulangan. Misalnya yamut bin Muzarri’, Khatib mengubahnya pada nama Muhammad. Kemudian pada huruf ya’ tertulis kembali.
D.       Apresiasi Terhadap Kitab
Tarikh Baghdad merupakan salah satu rujukan yang digunakan oleh beberapa ulama terdahulu seperti ibnu mandhur, adz-dzahabi, ibnu macula dengan kitabnya al-ikmal, abu ya’la ibnu al-farra’ dengan kitabnya thabaqat al-hanabilah, al-sam’ani dengan kitabnya al-ansab. Namun yang paling banyak mengadopsi kitab tarikh Baghdad adalah ibnu asakir dalam tarikh dimasyq, yang menyalin orang-orang Baghdad yang berasal dari damaskus.


BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Khatib al-bahgdady merupakan seorang yang memiliki perhatian yang sangat besar akan ilmu hadis. Banyak karya-karya yang dimilikinya terutama tentang ilmu hadis. Namun yang sampai pada kita hanyalah tarikh Baghdad yang merupakan masterpiece Khatib yang juga menajdi rujukan beberapa ulama’ hadis setelah beliau.
2.      Lahir dan berkembang pada suasana yang begitu kondusif untuk mengadakan kajian ilmiah pada awalnya meski akhirnya harus tertatih untuk dapat menyampaikan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Diawali dengan posisi Baghdad sebagai sentra keilmuwan, tergusur akibat perebutan kekuasaaan dan akhirnya kembali ke Baghdad untuk menyampaikan tarikh Baghdad sesuai dengan keinginannya.
3.      Tarikh Baghdad merupakan kitab rijal yang di dalamnya termuat orang-orang yang memiliki kaitan erat dengan Baghdad. Penyusunannya secara alfabetis, namun dimulai dengan kata-kata Muhammad, ahmad kemudian ali. Siapa saja yang memiliki kaitan dengan Baghdad secara keilmuan, ham[ir kesemuanya tercantum dalam kitab ini.
4.       Meski hanya bermuatan orang-orang yang terkait dengan baghdad bukan berarti menafikan orang lain. Tarikh bahgdad juga merangkum orang luar bahgdad yang memiliki apresiasi terhadap bahgdad. Meskipun tidak begitu banyak, setidaknya tarikh bahgdad menjadi rujukan bagi beberapa kitab rijal setelahnya.
5.      Memang kitab tarikh terlihat adanya fanatisme Khatib akan Baghdad. Hal itu dirasa wajar sebab Baghdad pernah menajdi pusat pemerintahan islam dibawah dinasti abbasiyah. Selain itu, perkembangan keilmuwan yang terjadi disana juga berkembang denga pesat. Hal inilah yang membuat Khatib ingin menulis Baghdad secara khusus beserta orang-orang yang memilki andil keilmuwan selama Baghdad menjadi sentra pemerintahan dan keilmuwan.   
B.       Kritik dan Saran
Trend fanatisme memang kental terasa saat zaman dahulu, demikian juga saat ini. Satu sisi terlihat memiliki dampak yang positif yang tidak memungkinkan timbulnya dampak negative seperti mengesampingkan orang yang tidak segolongan dengan dirinya. Khatib yang merupakan seorang asy’ariyah dan syafiiyah sempat merasakan diskriminisasi oleh sekelompok syiah rafidah akibat kajiannya yang mengedepankan sahabat dan dinasti abbasiyah.
Kajian yang berbau fanatisme tentunya tidak saja mengesampingkan hl-hal yang ada diluar golongan. Selayaknya terjadi cross check data sehingga hasil yang didapat dirasa lebih komprehensif sehingga siapapun mampu memahami kandungannya tanpa merasa ada tendensi ketika membaca atau mencoba memahami suatu karya. Dengan demikian, kajian ilmiah tetap terjaga dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA
Khatib al-Baghdady, Imam al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit.Tarikh Madinati al-Salam wa Akhabaru Muhaddisiha wa Dzikru Quththaniha al-Ulama min Ghairi Ahliha wa Waridiha. Tahqiq Dr. Basyar ‘Awwad. Dar al-Gharb al-Islami. 2002


[1] Hal 15
[2] Hal 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar