Selasa, 08 Mei 2012

WARIS BEDA AGAMA

Hadis Waris Beda Agama
1. Bukhori

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سَعْدَانُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي حَفْصَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ قَالَ زَمَنَ الْفَتْحِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ تَنْزِلُ غَدًا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَلْ تَرَكَ لَنَا عَقِيلٌ مِنْ مَنْزِلٍ ثُمَّ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُؤْمِنُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُؤْمِنَ قِيلَ لِلزُّهْرِيِّ وَمَنْ وَرِثَ أَبَا طَالِبٍ قَالَ وَرِثَهُ عَقِيلٌ وَطَالِبٌ قَالَ مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَيْنَ تَنْزِلُ غَدًا فِي حَجَّتِهِ وَلَمْ يَقُلْ يُونُسُ حَجَّتِهِ وَلَا زَمَنَ الْفَتْحِ
2. Muslim

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
  • Waris adalah salah satu cara pendistribusian harta dalam Islam, selain jual beli, wasiat, hibah, zakat, shadaqah dan ghanimah. Ada dua semangat utama dari distribusi harta dalam Islam: (1) Pengurangan penumpukan harta pada seseorang atau suatu kelompok tertentu (Qs. Al-Hasyr [59]: 7) dan (2) Pemihakan terhadap orang-orang yang secara ekonomis lemah dan membutuhkan (Qs. Al-Qashash [28]: 5). Semangat ini semestinya menjadi prinsip utama dalam setiap upaya pemaknaan kembali sistem distribusi harta, termasuk hukum kewarisan dalam Islam.
  • Pandangan teologis yang memisahkan secara ketat antara muslim dan non-muslim telah banyak mempengaruhi produk-produk hukum fiqh, terutama yang berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Seperti persoalan khilafah atau kepemimpinan, jihad, dar al-harb dan dar al-aman, dzimmi dan harbi, hukum non muslim memasuki daerah suci dan masjid, nikah beda agama dan hukum murtad. Termasuk juga hukum waris. Pandangan teologis ini sangat berkaitan dengan kondisi politik dunia pada saat itu, yang hanya mengenal pembedaan komunitas dari sisi agama. ”Identitas agama” pada saat itu adalah ”identitas politik”, yang menentukan hak, kewajiban dan konsekuensi politik seseorang atau suatu kelompok dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam sejarah awal Islam, identitas agama sama persis dengan identitas politik. Masuk Islam berarti memasuki komunitas politik, yang harus bersatu padu dan berkonsolidasi menghadapi musuh-musuh di luar Islam, terutama dari kalangan kafir Quraisy, beberapa kabilah Arab, kemudian juga orang-orang Yahudi Madinah.
  • Sistem kewarisan dalam fiqh Islam, termasuk salah satu produk fiqh yang dalam beberapa hal dipengaruhi pandangan politik identitas. Dalam hal ini, waris lebih didasarkan pada identitas agama yang saat itu merupakan identitas politik. Faktor pewarisan pada awal Islam misalnya, adalah al-hijrah wa al-mu’akhah (migrasi dan saudara adopsi). Hal ini terbaca dalam Qs. Al-Anfal: 72. Sistim ini secara sosial selaras dengan dua prinsip distribusi harta di atas, yaitu memberikan jaminan terhadap orang-orang Muhajirin dari Mekkah yang datang ke Madinah tanpa harta dan keluarga. Secara politik, sistem ini dilahirkan untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan menunjukkan konsolidasi ini di hadapan orang-orang Quraisy yang secara kasar dan paksa telah merampas harta orang-orang Islam. Faktor al-hijrah wa al-mu’akhah adalah inovasi dari sistem pewarisan yang sudah berlaku di masyarakat Arab pada saat itu (Jahiliyah). Mereka mengenal tiga faktor penyebab pewarisan; an-nasab, at-tabanni (anak adopsi) dan al-hilf (kesepakatan untuk saling membela). Faktor yang ketiga ini sedikit banyak serupa dengan faktor al-hijrah wa al-mu’akhah.
  • Beda agama, menurut mayoritas ulama fiqh (bahkan mungkin semua), menjadi penghalang bagi proses pewarisan. Orang muslim tidak diperkenankan diwarisi hartanya oleh keluarganya yang non-muslim, begitu juga sebaliknya. Pewarisan hanya bisa berlaku di antara orang-orang muslim, atau di antara orang-orang non-muslim. Tetapi Mu’adz bin Jabal ra dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra pernah membuat kebijakan untuk mewajibkan orang muslim mewarisi dari keluarganya yang non-muslim dan melarang yang sebaliknya. Kebijakan ini didukung beberapa ulama fiqh, seperti Masurq, Said bin al-Musayyib, Ibrahim an-Nakha’i dan IShaq bin Rahuyah. Ada pandangan lain yang menyatakan bahwa pewarisan hanya bisa dilakukan di antara masyarakat yang seagama, Islam dengan Islam, Yahudi dengan Yahudi, Kristen dengan Kristen, dan begitu juga agama-agama yang lain. Ada yang membedakan antara agama ahli kitab (samawi) dan agama bukan ahli kitab (wadh’iyy). Pandangan mayoritas ulama ini, didasarkan pada satu pernyataan dari Nabi Muhammad Saw dan beberapa ayat Al-Qur’an.
  • Sepanjang pengamatan, tidak ada satu ayat pun yang menyatakan pelarangan waris beda agama. Atau dalam pernyataan lain, beda agama tidak disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai penghalang pewarisan. Dalam beberapa kitab dan buku mengenai fiqh al-mawarits, dinyatakan bahwa ayat-ayat mengenai pelarangan ‘mengambil pendukung (waliy/awliyâ) dari orang-orang kafir’ bisa dijadikan dasar untuk melarang pewarisan karena beda agama. Ketika Allah Swt melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai pendukung yang saling tolong menolong, berarti larangan untuk saling waris mewarisi. Dikatakan, bahwa al-Wala’ adalah salah satu konsepsi sosial yang berlaku pada masyarakat Arab, untuk saling menolong, mendukung, membela, melindungi, bahkan memberikan waris.
  • Ayat-ayat yang berkaitan dengan pelarangan mengambil ‘al-wala’ dengan orang-orang kafir, semuanya dalam konteks peperangan dan permusuhan. (Qs. Ali Imran [3]: 28, an-Nisa [4]: 89 dan 144, al-Mumtahanah [6]: 1). Bahkan beberapa ayat menegaskan, bahwa objek pelarangannya adalah mereka yang memusuhi orang-orang Islam, memerangi, mengeluarkan dari tanah air, menghina dan melecehkan agama Islam. Kafir, atau non-muslim, dalam konteks ayat-ayat ini adalah mereka yang dengan jelas memusuhi dan melakukan tindak kejahatan terhadap umat Islam. Merekalah yang dengan jelas dilarang Al-Qur’an untuk dijadikan pelindung dan pendukung. Sementara orang-orang kafir yang tidak memerangi dan tidak memusuhi, Al-Qur’an tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik dan adil terhadap mereka (al-birr wa al-iqsath), bersahabat dengan mereka, saling melindungi dan tolong menolong (Qs. Al-Mumtahanah [60]: 9).
  • Satu-satunya dasar hukum yang tegas dan jelas (al-qath’iyy) dalam pelarangan waris beda agama adalah teks hadis. Dari USamah bin Zaid ra, bahwa Nabi Saw bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (Riwayat Bukhari, kitab al-faraidh, bab XXVI, no. hadits: 6764). Ada beberapa teks hadis lain, seperti “Tidak boleh ada pewarisan antara dua golongan agama”. Tetapi kata Ibn Hajar al-Asqallani, hanya teks hadis pertama yang shahih, sementara teks-teks lain masih diperdebatkan ulama. Jika ditelusuri, teks hadis yang pertamalahir (asbabul wurud makro) sama seperti ayat-ayat di atas, yaitu dalam konteks permusuhan orang-orang Kafir. Yaitu ketika orang-orang kafir Quraisy merampas harta orang-orang Islam yang hijrah ke Madinah. Kemudian, ketika orang-orang Islam lebih kuat dari mereka, bahkan memenangkan fath al-Makkah, beberapa dari mereka ingin memperoleh warisan dari sebagian umat Islam. Pada konteks ini, Umar bin Khattab sangat tegas dan keras melarang adanya pewarisan antara orang Islam dan orang kafir. Dari muslim ke non-muslim dan dari non-muslim ke muslim. Dalam teks hadis lain, yang juga diriwayatkan Usamah bin Zaid ra, berkata: “Wahai Rasulullah, di mana kita akan menginap? Di rumahmu yang di Mekkah?”. Nabi menjawab: “Apakah Aqil masih menyisakan tanah atau rumah?”. Aqil dan Thalib telah mewarisi sejumlah harta dari Abu Thalib, tetapi Ja’far dan Ali bin Thalib tidak mewarisi darinya sedikitpun. Karena pada saat itu Ja’far dan Ali bin Abi Thalib ra sudah muslim, sementara Aqil dan Thalib masih kafir. Umar bin al-Khattab ra tegas menyatakan: “Orang mu’min tidak mewarisi dari orang kafir”. (Fath al-Bari, IV/424).
  • Menurut mayoritas ulama, teks hadis “orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir juga tidak mewarisi dari orang muslim”, jelas dan tegas (al-qath’iyy) melarang pewarisan beda agama. Sehingga jika mau merujuk pada produk fiqh para ulama klasik, tidak ada satu celah pun untuk memperkenankan persoalan tersebut. Tetapi ada kenyataan, bahwa beberapa sahabat dan ulama fiqh ada yang berusaha memahami di luar teks yang tegas dan jelas tersebut. Yaitu mereka yang memperkenankan pewarisan muslim dari non-muslim. Ini dinyatakanMua’dz bin Jabal ra dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra, yang diikuti Sya’bi, IShaq, Sa’id bin al-Musayyib, Masruq dan Ibrahim an-Nakha’i. Di dalam teks hadis, jelas dinyatakan “la yaritsu al-muslima al-kafir”. Ini yang pertama kali dinyatakan Nabi Saw, baru kemudian “wa la yaritsu al-kafiru al-muslima”. Dengan ketegasan ini, beberapa ulama memahami justru di luar teks. Dengan menyatakan bahwa orang muslim boleh mewarisi dari orang non-muslim, dan tidak boleh sebaliknya.
  • Keputusan untuk “tidak ada pewarisan antara muslim dan kafir secara timbal balik” adalah keputusan politik. Begitu juga keputusan untuk “muslim boleh mewarisi kafir dan kafir tidak boleh mewarisi muslim” adalah keputusan politik. Keputusan yang dikeluarkan pada konteks dimana terjadi peperangan dan pembentukan identitas umat Islam. Saat itu, kafir adalah muncul sebagai istilah yang secara teologis berbeda dengan keyakinan Islam dan secara sosiologis menampakkan (atau berpotensi untuk) permusuhan dan peperangan terhadap umat Islam. Jika pandangan ini bisa diterima, maka waris beda agama, dari kafir untuk muslim atau dari muslim untuk kafir secara timbal balik, bisa dibenarkan sepanjang orang kafir yang dimaksud tidak dalam status permusuhan dan peperangan terhadap umat Islam. Keputusan status permusuhan dan peperangan ini ada di tangan pemerintah.
  • Lebih penting dari itu semua, adalah kedua prinsip pengurangan penumpukan harta pada seseorang atau suatu kelompok tertentu (Qs. Al-Hasyr [59]: 7) dan pemihakan terhadap orang-orang yang secara ekonomis lemah dan membutuhkan (Qs. Al-Qashash [28]: 5). Dengan mendasarkan pada prinsip ini, semestinya pendistribusian harta melalui waris atau wasiat diprioritaskan kepada mereka –dalam garis keluarga- yang paling membutuhkan dan dalam posisi miskin dan lemah secara struktural. []
Ingin belajar bahasa arab? Klik di sini

Jadilah orang pertama yang menyukai tulisan ini
Apakah anda menyukai tulisan ini ?

Leave a Reply




XHTML: You can use these tags:' <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>



Gambar tantangan reCAPTCHA






Dapatkan kata pengujian baru
Dapatkan kata pengujian berbentuk audio
Bantuan