Sabtu, 03 Desember 2011

MUHAMMAD ABDUH


MUHAMMAD ABDUH


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
ALIRAN MODERN DALAM ISLAM

Dosen Pengampu :
Hidayat Noer, M.Ag




 













Disusun Oleh :

Samsul Arifin
  10530078


JURUSAN TAFSIR DAN HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011


BAB I
PNDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan modern dalam islam menemukan momentumnya pada abad ke sembilan belas meskipun dasar-dasrnya sudah muncul sejak beberapa abad sebelumnya. momentum yang dimaksud adalah adanya gerakan politik dan intelektual yang mulai menjamah diberbagai kawasan negeri islam. Diantara Tokoh modernismeterpenting pada abad ke sembilan belas (19) adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dengan latar belakang lingkungan dan keluarga yanggamis ditambah pendidikannya di al Azhar menjadikan Abduh memiliki wawasan ilmu-ilmu tradisional keislaman yang kuat.
Dalam pada waktu itu pula hubungannya dengan Jamaluddin Al Afghani membawa pengaruh yang cukup besar dalam membentuk dinamika pemikirannya, dan disinilah percikan percikan pemikiran kemoderenannya hidup dan berkembang.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat kami tarik pada persoalan Rumusan masalah sebagai berikut:
1)       Riwayat Pendidikan Muhammad Abduh serta Karirnya
2)      Bagaimana Perkembangan Pembaharuan Modernisme Muhammad Abduh
3)      Seperti apakah konsep Teologi yang dibawa olaeh Muhammad Abduh





BAB II
PEMBAHASAN
A.                Riwayat Pendidikan dan Karir
Muhammad Abduh dialhirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir di propinsi  Gharbiyyah.[1] Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah, seorang berdarah Turki, sedangkan ibunya Junainah bin Usman al Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin Khattab. Kedua orang tua Muhammad Abduh hidup dalam rezim Muhammad Ali Pasya, yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. karena ketidak cocokannya dengan beberapa kebijakan penguasa, situasai sosial politik dimana ayah Abduh pernah dituduh menentang pemerintahan sehingga masuk tahanan dengan demikian mengakibatkan orang tua muhammad Abduh tidak sempat memperoleh pendidikan yang tinggi.
Sampai Usia 10 tahun Abduh dididik dalam lingkngan keluarga sendiri terutama mengenai membaca dan menulis. setelah itu ayahnya mengirim seorang hafidz untuk belajar al quran dan hanya dalam tempo dua tahun ia sudah bisa menghafalkannya.[2] Studi tentang Qurqnnya kemudian dimantapkan ke masjid Ahmadi kota Thanta yang dikenal dengan spesialisasi dalam kajian Al quran, disini pula Abduh mempelajari ilmu-ilmu Islam Tradisional keislaman seperti ilmu tata bahasa dan fiqih.
Ada hal yang kurang berkenan dihati Abduh dalam pelaksanaa pelajaran yang diterapkan dimasjid Ahmadi tersebut, Abduh merasa tidak mendapatkan sesuatu karena metode yang dipakai hanya mementingkan hafalan saja, yang tidak diikuti dengan pemahaman.karena kecewa inilah ia pulang kembali ke Nasr. Nampaknya minat Abduh untuk belajar kurang tumbuh subur namun orang tuanyatidak henti-henti untuk memberi dorongan. berkat bimbingan dari Syaikh Darwisy, paman ayahnya, Abduh melai tertarik untuk mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Pengalamannya dengan Syaikh Darwisy amat mengesankan pada Abduh sehingga kecintaannya pada ilmu pengetahuan mulai berkembang dan pada ahirnyapun ia kembali belajar ke Thanta.
Selanjutnya mulai tahun 1866, Abduh memasuki Universitas al Azhar di Cairo. disinipun ia merasa kecewa pada sistem pengajaran yang cenderung verbalistis dan Dogmatis, Murid hanya disuruh menghafal dan menerima materi – materi dari Gurunya. setelah kembali konsultasi ke Syaihk Darwisy, Abduh disarankan untuk mempelajari disiplin –disiplin ilmu lain yang tidak diajarkan selama ini seperti Logika, matematika dan filsafat. lewat salah satu Ulama yang bernama Hasan  at- Thawil, Abduh diperkenalkan dengan ilmu ilmu tersebut, sesuatu yang jarang dipelajari orang pada waktu itu. kajian hal itulah yang membuat perkembangan berfikir Muhammad Abduh.
Pengaruh Intelektual yang paling besar pada Abduh terjadi setelah ia bertemu dengan Sayyid Jmaluddin Al Afghani.[3] Al afghani datang ke Mesir pada tahun 1871 dan semenjak saat itu Abduh sangat antusias mengikuti kuliah dan mendengarkan ceramah-ceramah yang diberikannya. Lebih jauh Abduh mulai mengembangkan pemikirannya dengan menuangkan Ide dan pemikirannya di media massa. semuanya ini langkah awal dalam menyalurkan pemikiran pembaharuannya.[4]
Meskipun Abduh aktif mencari pengetahuan dan wawasan diluar, namun ia tetap berkonsentrasi mnyelesaikan studinya di Al Azhar. pada tahun 1877 ia berhasil lulus dari al Azhar dengan mendapat gelar kesarjanaan alim, suatu prestasi yang memberinya hak untuk mengajar di universitas ini.[5] Suatu pengalam yang tak terlupakan oleh Abduh semasa kuliah di al Azhar ketika pada waktu Ujian Ahir, sebagian tim pengujinya adalah Ulama-ulama garis Tradisi-onalis yang kurang simpati pada pemikiran Abduh selama ini banyak dinilai keluar dari mainstream umum yang berkembang di al Azhar. mereka ini bermaksud tidak meluluskan Muhammad Abduh. Ketika beberapa anggota penguji tetap hendak tidak meluluskan, ternyata hal itu tidak didukung oleh sebagian yang lain. Ahirnya sehingga proses kelulusannya melibatkan Rektor yang pada waktu itu dipegang oleh Syeikh Muhammad Al Abbasi. Keputusan Rektor ternyata meluluskannya dan dengan diberi peringkat Dharajah Al tsani(amat baik).[6]
Pada perkembangan berikutnya, Abduh mulai aktif mengajar di al Azhar dengan mengampu mata kuliah ilmu Kalam dan Logika. Melalui pelajaran ini murid dituntut untuk berfikir mandiri, mengarahkan mereka agar tidak mengikuti pendapat pendapat dengan argumen yang tidak kuat.
Ketika ia dikenal dikalangan luas, pemerintahpun memanfaatkan kepandaiannya dengan mengangkat Abduh sebagai Dosen tetap di Universitas Dar al- Ulumdan perguruan Bahasa Khedevi pada tahun 1879. disini ia mengajar ilmu kalam, sejarah, politik dan kesustraan arab. Ia menginginkan terciptanyasuatu generasi  masyarakat Mesir yag amapu mempertahanka bahasa Arab sebagai bahasa agama dan ilmu keislaman lainnya. lebih dari itu mahasiswa diharapkan tanggap dengan situasi sosial politik yang sedang berkembang dan kalau perlu mengoreksi penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah, karena yang terakhir ini berbau politis, maka Taufik Pasha memberhentikan Abduh serta dipulangkan ke desa tempat ia dilahirkan.
Pada tahun 1880 angin politik berpihak padanya ketika perdana Mentri Riyadh Pasha memanggilnya kembali untuk membantu tugas-tugas pemerintahan. Ia diangkat sebagai Redaktur surat kabar pemerintah, Al-Waqai al-Mishriyyah.,[7] dan tidak lama kemudian ia dipercaya untuk menjadi Editor in Chief (ketua editor).[8] Posisi ini sangat istimewa bagi Abduh dengan demikian ia diperhitungkan dalam percaturan sosial politik dikalangan elit pemerintahan mesir. kesempatan tersebut dimanfaatkannya untuk memformulasikan sekaligus mensosialisasikan gagasan gagasannya.
Karena tuntutan politik yang tidak bisa dielakkan, Abduh memasuki gelanggang politik dan aktif terlibat dalam partai Nasional Mesir yang didirikan oleh Jamaluddin Al Afghani. Muncullah kemudian Gerakan pemberontakan dibawah pimpinan Ahmad Urabi Pasha pada tahun 1882.[9] Tidak lama dari itu Urabi dan pasukannya mengalami kekalahan total di at-Tall al-Kabir. Ia ditangkap dan dibuang ke Srilangka untuk seumur hidup. Dalam hal ini Abduh ikut terlibat meskipun ia tidak menyetujui adanya pemberontakan tersebut namun secara positif ia memberi dukungan terhadap gerakan Nasionalisme tersebut, karena keterlibatannya itulah ia dibawa kepengadilan untuk diadili dan akhirnya ia dijatuhi hukuman pengasingan keluar Negeri selam 3 tahn.
Tahun 1882 itu juga ia diasingkan ke Sriya dan memilih tinggal di Beirut. baru setahun menetap dikota ini ia menerima surat dari jamaluddin Al Afghani  yang berada di Paris, dengan maksud mengajaknya untuk dapat bergabung  dalam organisasi  al-Urwah al-Wutsqa. Abduh pun menyetujuinya dan ia pun diajak untuk mendirikan majalah yang juga diberinama seperti nama organisasi itu.
secara Umum majalahini menggambarkan politik yang mengetengahkan perjuangan umat islam diberbagai negeri untuk dapat melepaskan diri dari dominasi kekuasaan asing, dan secara khusu mengkonsentrasikan pada usaha mendapatkan kemerdekaan bagi rakyat Mesir dan Inggris.
Selanjutnya Abduh kembali ke Beirut dan disisni memusatkan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pembinaan pendidikan, Abduh juga menulis kitab syarah dan komentar. Satu karya yang monumental yang dihasilkan selama berada di Beirut ini adalah bukunya, Risalah al-Tauhid.
Kemudian tahun 1888, Abduh diperkenankan tinggal di Mesir dan ia langsung diangkat sebagai hakim. Tahun 1890 M ia dipercaya sebagai panasehat Hukum pada Mahkamah Agung yang berkedudukan di Cairo. Kepercayaan pemerintah meningkat terus dan terbukti pada tanggal 15 Januari 1895, Khedevi Abbas mengeluarkan surat keputusan tentang pembentukan pimpinan Al Azhar yang terdiri dari kalangan Ulama, sementara Abduh ditunjuk sebagai salah satuanggota yang mewakili pemerintah meskipun dalam beberapa hal pembaharuan dalam aspek pendidikan di al Azhar tidak mendapat sambutan yang positif, namun beberapa pembaharuannya di bidang Administrasi cukup berhasil. pengabdian puncaknya adalah ketika ia diangkat menjadi Mufti Besar  sebuah posisi yang cukup isrimewa, sejak tanggal 3 Juni 1899 menggantika Syeikh Hasunah al-Nadawi. Ahirnya telah sakit beberapa lamanya Abduh meninggal dunia pada tanggal 11 juli 1905, jenazahnya dibumikan pada pemakaman negara Cairo.
B.     Perkembangan Pembaharuan Modernisme Muhammad Abduh
Dari latar belakang pendidikan yang telah di uraikan dimuka dapat diketahui bahwa Abduh bukan tipe orang yang cepat puas dengan keadaan yang ada. Ia senantiasa bersikap kritis dan ingin memperoleh hal hal yang baru dalam wawasan pemikirannya. Diluar pemikiran keagamaannya Abduh juga mengembangkan wawasan sosial, untuk pertama kalinya gagasan gagasannya dituangkan dalam jumlah artikel yang terdapat dalam surat kabar al Ahram.[10] Dalam tulisan yang di muatnya Abduh menitik beratkan pada pentingnya mempelajari ilmu Mantiq guna untuk mendukung kekuatan argumentasi dalam pemahaman keagamaan. Padahal semasa itu ilmu Mantiq dipandang sangat membahayakan, tapi justru itulah Abduh ingin menunjukkanmanfaat yang diperolehnya. Abduh sangat intres untuk memberikan kualitas pemahaman keagamaan yang rasional.
Pemikiran keagamaan Muhammad Abduh khususnya dalam bidang teologi mencapai kematangannya ketika ia menghasilkan karya monumentalnya, Risalah al-Tauhid. Inilah suatu formula baru bagaimana seorang pemikir abad -19 menyajikan konsep teologinya. Abduh bermaksud dalam mencari jalan keluar dari problema Studi teologi Islam yang selama ini dinilai rumit dan terlanjur larut dalam perbedaan faham antara berbagai Aliran.
Sementara itu gerakan pembaharuan hukumnya mulai tampak ketika ia baru saja pulang dari Beirut dan diizinkan kembali memasuki Mesir, saat itu ia diberi jabatan sebagai Hakim Pengadilan untuk Pribumi. ini semakin digulirkan Abduh ketika ia diangkat menjadi Mufti Besar Mesir sejak tahun 1899. Inti dari modernisme hukumnya berangkat dari kenyataan Historis yang berkembang bahwa Hukum islam seharusnya merupakan produk yang terus menerus diperbaharui. Bagi Abduh, hukum harus dipahami sebagai suatu sarana menciptakan kemaslahatan bagi manusia, maka adalah suatu kesalahan fatal manakala hanya mempertahankan Materi hukum, kesejahteraan manusia menjadi terabaikan.
Bagaimana Posisi Abduh dalam bidang ini, Rasyid Ridha menilai bahwa Abduh adalah seorang mujtahid,yang memang mengeluarkan fatwa-fatwa dengan tidak terikat pada pendapat Ulama-ulama masa lampau.[11] Jika kita lihat dari latar belakang sebenarmya Abduh bermadzhab Maliki, kemudian ketika di al Azhar ia mempelajari madzhab Hanafi dan dalam ujiannya ia pun diuji dalam Madzhab Hanafi. Pada ahirnya ia menghargai semua aliran madzhab, namun sekali kali tidak mau terikat pada salah satu dari keempat madzhab yang masyhur.
Sebagai salah satu contoh adalah pandangannya dalam masalah poligami. Umumnya para ulama sepakat bahwa poligami dibolehkan dalam islam, ini karena semata sudah ada dasar dan petunjuk yang sudah jelas dalm Al Quran.  Tetapi bagi Abduh masalah poligami ini adalah masalah sosial yang berkembang dimasyarakat, artinya meskipun sudah jelas dalam al Quran namun harus dilihat dulu sisi persoalannya. inilah alah satu gambaran bagaimana Abduh menjelaskan suatu hukum yang tidak terpaku pada penjelasan Ulama-ulama terdahulu.
Pembaharuan hukum islam bagi Abduh harus setia merujuk pada dimensi kekinian yang berkembang, artinya produk prodik hukum lampau sebagaimna tertuang dalam banyak kitab fiqih perlu menjadi rujukan dalam batas-batas tertentu. Disamping pembaharuan yang bersifat pemikiran, Abduh berusaha melakukan langkah-langkah yang dapat membantu tegagnya hukum dimasyarakat. Ini terutama dilakukan ketika ia menjabat Mufti. Hal yang perlu kita catat disini ialah Abduh memperbaiki kesalahan persepsi masyarakat, bahkan juga para hakim sendiri. ada sementara pemahamna yang berlaku bahwa para hakim itu hanya merupakan aparat pemerintahan yang bertugas menjalankan menjalankan fungsi Hukum, disinilah sering terjadi para hakim tidak mau melayani masyarakat di luar tugas resminya. Pandangan demikianlah antara lain yang menjadi sasaran pelurusannya. Menurut Abduh, baik Mufti maupun Hakim mempunyai tanggung jawab yang berat, adalam arti tidak hanya menjalankan fungsi pemerintahan tetapi sekaligus fungsi pengabdian pada Masyarakat secara luas.[12]
Dari uraian di atas tentang pembaharuan dalam aspek teologi dan hukum dapat ditegaskan sesungguhnya Muhammad abduh adalah pembaharu anak Zamanny,  Pemikirannya muncul atas situasi dan tuntutan sosial yang mengharuskannya melakukan pembaharuan. jikalau dicermati sesungguhnya gagasan pembaharuan muhammad Abduh bertumpu pada tiga hal berikut:
·         Pembebasan pemikiran dari belenggu taqlid sehingga akal tidak tunduk pada otoritas manapun.
·         Upaya memberi pemahamn bentuk Agama sesuai cara yang ditempuh kaum Ortodox(salaf) dengan tanpa menghiraukan perbedaan pemahamn dikalangan Ulama yang datang kemudian.
·         Penempatan agama sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain, menjadikan sains sebagai partner Agama.[13]
Ide Muhammad Abduh tersebut mendapatkan sambutan yang luas dan hampir menyebar keseluruh dunia islam. jika Abduh menyerukan anti Taqlid, memang dalam kenyataan islam mengalami kemujudan berfikir, sikap demikian pada gilirannya melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan sains moderen. sikap begini menurut Abduh harus dipupus dan sebaliknya ditanamkan sikap respek terhadap sains.
Perlu ditarik garis penghubng bahwa pada beberapa hal Abduh mengulang kembali seruan muhammad bin Abdul Wahab dalam pengertian mengembalikan pemahaman agama sebagai Ulama salaf, Abduh berpendapat bahwa ajaran islam perlu diberi interpretasi baru, untuk itu pintu ijtihad harus dibuka lebar-lebar. dalam konteks Modernisasi itulah Abduh tidak segan segan mengecam Ulama yang sering terpaku pada pemahaman tradisional, sikap seperti seperti itu dapat kita pahami  bahwa islam baginya adalah Agama Rasional.
Salah seorang pengamat Barat terkemuka H.A.R. Gibb memberikan penilaian yang positif terhadap pembahruan muhammad Abduh . menurutnya Abduh menyuarakan 4 hal pokok:
a)      Gerakan pemurnian Islam dari peraktek yang tidak benar
b)      Pembaharuan pendidikan islam
c)      Perumusan kembali ajaran islam sejalan dengan pemikiran moderen
d)     Pembelaan Islam atas pengaruh dan serangan Kresten Eropa.[14]
Dari kempat aspek diatas, yang pertama dan yang ketigalah yang mnjadi titik kuat penekanannya, sedangkan yang ke empat sedikit memberikan pengaruh dan lebih sedikit lagi yang kedua, dari situlah seorang Modernis sangat sekali mendapat tantangan terutama dari golongan konserfatif. Namun ada satu hal dari uraian diatas yang luput dari pengamatan tersebut bahwa Abduh tidak begitu saja meninggalkan warisan tradisional.
Satu contoh adalah perhatiannya dalam melestarikan bahasa Arab. menurut Abduh Islam mempunyai kewajiban secara moral untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa guna keperluan menjaga orisinalitas pemahamn agama. Oleh karena itu hal seperti ini harus diprogramkan.[15] Dengan demikian pengertian Abduh sebagai seorang modernis harus tetap dikaitkan dengan usahanya dalam mempertahankan warisan klasik yag masih relevan digunakan, sehingga Abduh sangat antusias mengedepankan Sains modern namun ia juga masih berpijak pada akar sejarah dan tradisi ke Islaman yang relatif kuat.
C.    Konsep Teologi Muhammad Abduh
Sebelum Abduh merumuskan konsep teologinya tidak lepas dari yang namanya pengaruh latar belakang perkembangan pemikiran ilmu kalam yang pernah ada, dalam beberapa sedi ia mempunyao beberapa pandangan yang perlu diuraikan terlebih dahulu. bagi Abduh kemunculan teologinya merupakan respon atas kondisi dan perkembangan zaman yang menuntutnya melakuakan upaya rekonstruksi. tentunya rekonstruksi atas berbagai fenomena kesejarahan yang pernah muncul dalam pentas esjarah kaum muslimin.
Istilah yang digunakan Abduh dalam teologinya adalah ilmu tauhid,yang menurutnya ialah suatu ilmu yang membahas tentang Wujud Allah,sifat-sifat wajibnya dan sifat-sifat Jaiz dan yang mukhal. kadang-kadang juga diistilahkan dengan ilmu kalam yang menurut Abduh penyebutan ini karena ada 3 alasan yaitu:
1.      Karena masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan Ulama ulama terdahulu adalah masalah Kalam Allah.
2.      Karena ilmu ini dibina oleh akal yang mana efeknya terlihat jelas dalam perkataan-perkataan setiap ahli yang membahas hal tersebut serta dalam mengemukakan pendapatnya.
3.      Karena dalam memberikan alasan atau argumen tentang masalah pokok ajaran Agama, ilmu ini lebih menyerupai Logika seperti halnya yang telah dikemukaakan oleh filosof dalam mengokohkan argumennya.[16]
Dari penelusuran historis secara singkat dikemukakan oleh Abduh, setidaknya dapat ditangkap ada keresahan yang menyelimuti pemikirannya. Aliran aliran teologi yang berkembang selama ini, baik Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, maupun Ahlussunnah, kesemuanya dilihat memiliki titik kerawanan tertentu jikalau dipertahankan terus menerus. Dalam persepsi Abduh, ummat Islam terpecah pecah dalam berbagai Aliran pemikiran keagamaan bahkan sanmpai cabang cabang masalah keyakinan, tentunya kondisi semacam ini cukup mengganggu keberagamaan mereka.
Fenomena kesejarahan diataslah yang melatarbelakangi dan selanjutnya mempengaruhi paradigma  pemikirannya dalam merumuskan konsep teologinya, dengan tanpa mengecilkan peran berbagai aliran dalam sejarah . Abduh bermaksud membuka jalan baru bagi pengkajian disiplin teologi yang setia terhap prinsip-prinsip dasr agama dengan mengesampingkan sisi-sisi yang menyebabkan perbedaan paham selam ini.
Untuk lebih memberikan gambaran yang komprehensip namun simpel disini teologi Abduh diuraikan dengan formulasi sebagai berikut:
1) masalah Allah dan sunnah sunnahnya .Untuk membuktikan eksistensi Allah, Abduh menggunakan Logika yang sering dipakai oleh para filosof, yaitu teori wujud  diman teori tersebut terbagi menjadi 3 macam diantaranya: wajib li dzathi(wujud yan pada esensinya mesti ada), mustahil li dzathi ( wujud pada esensiny mungkin tidak ada), Mumkin li dzathi ( wujud yang pada esensinya tidak ada).[17]
2) masalah akal dan kemampuannya. Konsep tentang kemampuan akal ini menjadi penting dalam sistem teologi Muhammad Abduh, secara umum dapat dinyatakan bahwa akal merupakan satu-satunya ciri pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. Abduh menempatkan akal pada posisi yang sangat istimewa baik dalam hubungannya dengan akidah maupun dengan syari’ah.
Konsekuwensi dari pemikiran Abduh adalah sangat keras menentang kebebasan akal dan juga sikap tidak mau menggunakan akal itu sendiri, sikap taqlid itulah yang menjadi sorotan tajam Abduh dalam berbagai kesempatan lisan maupun tulisan. ia berpendapat bahwa sebenarnya ajaran islam sudah menghancurkan sikap taklid (berpihak secarah tidak kritis) yang sering menguasai manusia pada Umumnya, penolakan atas taklid itu juga dinyatakan oleh Muhammad al-Bahiy, setidaknya didasarkan pada tiga hal:
·         karena taklid bertentangan dengan tabiat akal yang senantiasa ingin berkembang,
·         karena bertentangan dengan sunnah kehidupan yang mengharuskan adanya dinamika dan perkembangan
·         karena semangat islam memang anti taklid.[18]
2)      Masalah manusia dan kebebasannya. Manusia menurut Abduh adalah makhluk spesial karena ia dibebani Taklif oleh tuhan. disisi lain manusia menurut Abduh mempunyai dua kodrat yang sangat mulia dan penting sekali yaitu: Berfikir, Memilih dan menentukan perbuatannya sendiri.
Konsep tentang kebebasan manusia sebenarnya ada kaitannya dengan konsep keadilan Tuhan, sebagaimana dijelaskan pada ayat al Quran bahwasannya Allah mengenalkan diriNya sebagai Dzat yang adil, maka menurut Abduh,sifat itu berarti permanen melekat pada Tuhan dan Mustahil apabila sewaktu-waktu Allah berbuat tidak Adil. Dalam pada itu Abduh mengaitkan bentuk keadilan tuhan itu dengan hukuman dan balasan baik.












BAB III
KESIMPULAN

Pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang teologi mempunyai latar belakang yaitu sebagai koreksi atas doktrin-doktrin yang telah mapan dalam berbagai aliran kalam. Konsep konsep teologis yang dirumuskan oleh Mutakallimin tidak selamanya menunjukkan gagasan yang setia pada ajaran-ajaran Al Quran dan bahkan tidak sedikit yang terkena bias dari pemikiran asing.
Konsepsi tentang ketuhanan yang dibawa oleh Abduh dimana Allah dipahami sebagai Dzat tertinggi yang sempurna dengan segala sifat-sifatnya dan yang eksistensinya tak terhingga karena keabsolutannya.  mengenai konsep manusia Abduhmenekankan dari aspek rasionalitasnya sehingga akal dipandang mempunyai keistimewaan baik dalam hubngannya dengan aqidah maupun syari’ahnya. Bagi Abduh teologi harus bisa memposisi kekuatan akal hampir sejajar dengan Wahyu karena kebenaran yang bersumber dari keduanya adalah sama.













DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad.1956. Risalah al-Tauhid. Cairo: Maktabah an-Nahdhah, Cairo
Al Afghani, Jamaluddin dan Muhammad Abduh.1970. Al Urwah Al-Wustqa. Beirut: Dar kutub al arabi
Imarah.1981. Al Imam Muhammad Abduh : Mujaddid fi Islam. Cairo:Almuassa al arabiyyah
Nasution, Harun.1984. teologi Islam : Aliran aliran sejarah Analisa perbandingan. jakarta: UI press.
Arabiyah Lubis. 1995. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh:suatu telaah perbandingan. Jakarta:bulan bintang.


[1]  Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustadz Imam Muhammad Abduh, Jilid III, h.13
[2]  Mudazkirat al Imam Muhammad Abduh, yang diedit dan ditahqiq oleh Thahit Thanani,(Cairo:Dar al   Hilal),h.28
[3]  Ahmad amin, Zu’ama’ al-Islah fi al Ashar al Hadist.(Cairo:maktabah al Nahdhah), h, 58
[4]  Harun nasution, pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan(jakarta: Bulan bintang,1975),h, 60-61.
[5]  Rasyid Ridha, jilid I , hl 102-103
[6]  Muhammad Imarah, Al- a’mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh,(bairut), jilid III, h. 15-22
[7]  Al-Waqai al- Mishriyyah, telah dimulai penerbitannya sejak masa Muhammad Ali Pasha berkuasa (1805-1849) dengan at-Tahtawi sebagai ketuanya.
[8]  Jamal Muhammad Ahmed, The Intelectual Origins of Egyptian Nationalism,(london:University press,1960), h. 19-20
[9]  Mahmudul Haq, Muhammad Abduh: A Studi of A Modern Thinker of Egypt. h, 18-20
[10]  Surat kabar ini didirikan di Alexendria pada tahun 1875 oleh dua orang yang berkebangsaan Lebanon, Salim dan Bishara Taqla
[11]  Rasyid Ridha ,jilid I, h,. 104
[12]  Arabiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh:suatu telaah perbandingan. (Jakarta:bulan bintang,1995),  h. 118
[13]  Jamaluddin Al Afghani dan muhammad Abduh, h. 36
[14]  H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam, (New york:Octagon Books,1978). h.40
[15]  Lihat Abduh, Mudzakkirat, h. 81
[16]  Muhammad Al Bahy, Pemikiran Islam modern,terj,.Su’adi Sa’id, (jakarta: Pustaka panjimas,1986), h. 94
[17]  Abduh, Risalah al- tauhid, h. 20
[18]  MuhammaAl- Bahiy, h. 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar