Sabtu, 03 Desember 2011

M. ARKOUN


SANG MISIONARIS MOHAMMAD ARKOUN.

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam wacana pemikiran islam kontemporer, kajian “pemikiran Islam” model Mohammed Arkoun mempunyai corak yang sangat berbeda dengan corak pemikiran telaah pemikiran Islam yang selama ini di kenal. Untuk memperoleh kejelasan peta pemikiran keagamaan yang ada, maka di perlukan kajian ulang dan radikal terhadap naskah-naskah keagaam era klasik skolastik yang biasanya di warisi begitu saja tanpa sikap kritis sedikitpun oleh ummat islam yang hidup poda era sekarang ini. Dan corak pada kajian pemikiran keislaman model ini pulalah yang membedakan Arkoun dari corak dan pola kajian keislaman para orientalis.
BAB II
PAEMBAHASAN
A.    Biografi Mohammad Arkoun.
Arkoun lahir pada tanggal 1 Januari 1928  dalam keluarga biasa di perkampungan Berber yang  berada di Mohammed Arkoun … sebuah desa di kaki-gunung Taorirt- Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf) dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair. Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris.  Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis. Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Sosok Arkoun yang demikian ini, dapat dinilai sebagai cendekiawan yang  melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi kemanusiaan, sebab, baginya, pemikiran dan aksi harus saling berkaitan.
B.     Metodologi dan Pendekatan dalam Pemikiran Arkoun
Di dalam melakukan ijtihad (dengan menafsirkan Islam) yang tidak pernah berhenti, ada dua kekuatan tradisi pemikiran yaitu, budaya  Timur Tengah kuno yang memiliki tempat spesial di dalam pemikiran Yunani dan monoteisme yang dipikirkan (dibawa) oleh para Nabi. Secara jelas, Arkoun mengemukakan dirinya sebagai pengguna metodologi historis-kritis yang menebarkan rasa ingin tahu secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama, yaitu dengan definisi-definisi yang diberikan oleh aliran sejarah positivistik yang diajarkan sejak abad ke-19. Dengan demikian, usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan ke dalam pemikiran tentang Islam atau tentang agama lainnya pada saat ini, adalah ditujukan untuk mengevaluasi karakteristik- karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.
Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru bagi studi perbandingan terhadap budaya budaya,  melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial sejarah. Di dalam pembicaraan yang didasarkan pada postulat-postulat kaum metafisik klasik yang esensialis dan substansialis, Islam digambarkan sebagai suatu sistem pemikiran, kepercayaan, dan ketidak percayaan yang khusus, esensial, dan tidak berubah, sehingga memunculkan adanya kelompok-kelompok superior dan inferior (menurut orang Islam atau non-Islam) ketika dihadapkan dengan sistem Barat (Kristen). Menurut Arkoun, inilah saat yang tepat untuk menghentikan pertentangan-pertentangan antara dua sikap dogmatis yang berupa klaim kebenaran teologis dari orang orang yang beriman dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme kaum positivistik.
 Sejarah agama telah mengumpulkan fakta-fakta dan gambaran-gambaran dari berbagai macam agama, akan tetapi agama sebagai dimensi universal dari manusia belum didekati dengan perspektif epistemologis yang relevan. Kelemahan dalam pemikiran modern ini nampak secara jelas dari literatur yang miskin, seragam dan kadang-kadang cukup polemik dalam menggambarkan agama-agama wahyu. Untuk menghilangkan semua halangan tersebut, perlu diberikan perhatian lebih terhadap pengajaran dan studi sejarah sebagai antropologi masa lalu dan tidak hanya sebagai pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Oleh karena itu, Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukan bukan dengan tujuan untuk menghilangkan pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam. Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode  dekonstruksi.  Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis. Dengan demikian, nalar (reason) harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme yang memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani. Semua ini hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok pemikir, penulis,  seniman, sarjana, politisi dan produsen ekonomi.
Dalam melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari suara atau teori yang dianggap Mohammed Arkoun … memiliki otoritas, karena hanya dia yang dapat memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang ilmiah, dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam. Dalam bahasa yang lain, agar kita dapat mengartikulasikan visi modern tentang Islam yang sekaligus bisa memberikan pengaruh pada komunitas.
C.     Arkoun dan Tradisi Hermeneutik
            Salah satu aspek pemikiran arkoun yang sangat berharga adalah usahanya memperkenalkan pendekatan hermeneutika sebagai methodologi kritis yang akan memunculkan informasi dan ma’na baru ketika di dekati dengan cara pandang baru, terutama dengan menggunakan metode hermeneutika historis. Karena sikap pengarang setiap pengarang, teks, dan pembaca tidak lepas dari konteks sosial, politis,  psikologis,  teologis dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami sejarah yang di perlukan bukan hannya transfer makna, melainkan juga transformasi makna. Pemahaman tradisi islam selalu terbuka dan tidak pernah selesai, karena pemaknaan dan pemahamannya selalu berkembang seiring dengan ummat islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang zaman. Gagasan universal Islam tidak semua tertampung oleh bahasa arab yang bersifat lokal kultural, serta terungkap melalui tradisi kenabian. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu selalu muncul ulama’ tafsir yang berusaha mengaktualkan pesan Qur’an dan tataran tradisi keislaman yang tidak mengenal batas akhir.
Oleh sebab itu ada tiga kesimpulan ketika mendekati Qur’an dan tradisi ke islaman. Pertama, sebagian kebenaran pernyataan Qur’an baru akan kelihatan di masa depan. Kedua, kebenaran yang ada pada dalam Al-Qur’an berlapis-lapis atau berdimensi mazmuk, sehingga ber pluralitas pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an adalah hal yang lumrah atau bahkan di kehendaki oleh Qur’an sendiri. Ketiga, terdapat doktrin dan tradisi keislaman historis-oksidental sehingga tidak ada salahnya untuk di pahami ulang dan di ciptakan tradisi baru. Yang terakhir ini bisa menyangkut ayat-ayat soal pembagian harta waris, posisi wanita dalam masyarakat, dan hubungan ummat agama lain.
Pemikiran-Pemikiran Arkoun Yang Populer
1. Wahyu dan Teks Alqur’an
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan tentang wahyu. Pertama, wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini, biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfudh  atau  Umm al-Kitab.  Kedua,  wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengajaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam bentuk kitab Bibel (Taurat dan Zabur), Injil dan Alqur’an. Berkenaan dengan Alqur’an, realitas yang ditunjuk adalah Firman Allah yang diwahyukan ke dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Dan  Ketiga, wahyu yang direkam di dalam catatan, yang ternyata menghilangkan banyak hal, terutama, Salah satu aspek pemikiran arkoun yang sangat berharga adalah usahanya memperkenalkan pendekatan hermeneutika sebagai methodologi kritis yang akan memunculkan informasi dan ma’na baru ketika di dekati dengan cara pandang baru, terutama denga menggunakan metode hermeneutika historis. Karena sikap setiap pengarang, teks, dan pembaca tidak lepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami sejarah yang di perlukan bukan hannya transfer makna, melainkan juga transformas situasi pembicaraan (sementara asbab alnuzul ternyata belum dapat mengembalikan hal- hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan).
Pencatatan Alqur’an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan parsial yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus officiel clos (mushaf resmi tertutup). Pada awalnya, mushaf resmi tertutup ini masih memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda, namun kemudian ditutup dengan adanya dua “pembakuan”. “Pembakuan” tersebut, adalah pertama oleh Abu Bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan tujuh bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan Alqur’an standar di Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebar luaskan ke seluruh dunia. Penyebaran dalam skala teks ini membuat tidak bisa dipikirkannya kembali persoalan- persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan Qur’anic fact (le fait coranique) dengan Islamic fact (le fait islamique). Kenyataan qur’ani memiliki sifat transenden, transhistoris, dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami memiliki sifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu garis makna yang terkandung di dalam kenyataan qur’ani. Kenyataan islami lahir melalui penafsiran manusia (baik oleh ahlifiqh maupunkalam) terhadap kenyataan qur’ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis, aliran, dan corak pemikiran, seperti sunni, syi’i, khariji dan berbagai cabangnya yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik kebenaran tertentu, walaupun sebenarnya merupakan gerakan politik. Problem tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya corpus interpretes (korpus-korpus penafsir) yang lahir sebagai produktifitas teks dan bukan sebagai produktifitas wacana. Ternyata, kesemua itu kemudian disebut sebagai ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan manusia. Tentang hal ini, Arkoun juga menjelaskan dalam bentuk gambar sebagai berikut: Firman Allah (Umm al-Kitab) Sejarah Penyelamatan Manusia Wacana Alqur’an KRT KT Sejarah Dunia (Peristiwa sejarah pewahyuan) Masyarakat Penafsiral-Q ur ’an, al-Kitab, al-Dzikr, al-Furqan tradisi, ingatan kolektif, seleksi, eliminasi, kristalisasi, mitologisasi, imaginaire social dan munculnya rasionalisme kritis 2. Pembacaan al-Qur’an
Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professoral). Selain itu juga telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Dalam kategori semiotik, teks Alqur’an sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue, sehingga Alqur’an kini tetap menjadi parole bagi kaum mukmin. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, dan parole adalah keseluruhan apa yang diajarkan orang dan merupakan manifestasi individu dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan qira’ah adalah untuk comprendre, mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna. Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an. Pertama, secara liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan pada saat shalat dan doa-doa tertentu. Pembacaan liturgis ini bertujuan untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengajarkannya untuk pertama kali” agar didapatkan kembali keadaan ujaran (situation de discours) dari “ujaran 1”. Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani, baik secara horisontal maupun vertikal, dan sekaligus melakukan pembatinan terhadap kandungan wahyu. Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ajaran 2”, yaitu ajaran yang termaktub di dalam mushaf, Dan ketiga, cara baca yang ingin dikenalkan oleh Arkoun, yaitu dengan cara memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa. Menurut Arkoun, ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan bahkan saling memberikan sumbangan untuk memahami teks-teks Illahi yang tidak akan pernah tuntas dikupas oleh manusia. Untuk pembacaan seperti itu, Arkoun mengajukan tahap pembacaan Alqur’an ke dalam dua tahap kritis, yaitu tahap linguistik kritis dan tahap hubungan kritis.
 Dalam tahap pertama, pembacaan dilakukan dengan memakai data-data linguistik (seperti tanda-tanda bahasa, modalisateur s du discours, aras sintaksis, aras semantik dan sebagainya) untuk mengetahui maksud dari pengujar (locateurs). Dan pada tahap kedua, pembacaan dilakukan dengan menempuh dua langkah, langkah kesatu eksplorasi historis (meneliti khazanah tafsir klasik dan berupaya menemukan petanda terakhir di dalamnya dengan kode-kode linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis, dan sebagainya) dan langkah kedua eksplorasi antropologis (dilakukan dengan analisis mitis/simbolis, dengan memeriksa tanda, simbol dan mitos yang menyertai sebuahqira’ah). Pemikiran-pemikiran Arkoun yang telah dikemukakan tersebut, ternyata mendapatkan sambutan di kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia.
Corak pemikiran model Arkoun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai corak yang sangat berbeda dengan pemikiran Islam yang telah ada. Telaah Arkoun, berbeda dengan telaah model orientalis (yang juga dikritiknya) dan berbeda dengan model pemikiran kaum Muslim lainnya. Arkoun berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental, atau berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan filsafatnya sangat menonjol dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model Ismail Raji al- Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lebih bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan. Arkoun yang post-modernis berbeda dengan Fazlur Rahman yang modernis dengan belum begitu tegas dan tandas dalam menguraikan metodologi dan alat keilmuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan rekonstruksi sistematis dan bahkan sesekali ragu jika harus dihadapkan dengan pilihan antara model pemikiran Islam yang beraroma “normatif” atau “historis empiris”, yang kemudian dijawab secara tegas oleh Arkoun dengan memilih yang “historis empiris”. Arkoun bahkan juga mengkritik pemikiran Taha Husein dan Ali Abd Raziq sebagai pemikiran yang tidak didasarkan pada kebijaksanaan untuk mencari kompromi antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan prasangka-prasangka keagamaan dari massa. Namun demikian, Arkoun dapat ditempatkan sama dengan Edward Said, Fatima Mernissi dan Hassan Hanafi yang melihat hasil dan pembacaan teks sebagai tindakan politik. Atau bahkan dapat dinilai sama seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai hasil sosial budaya dan mengajukan pembacaan al-Qur’an dengan tinjauan ilmu semiotik historis. Karena karya Arkoun berada di dalam wilayah kajian epistemologi murni dan kurang menyentuh secara langsung pada bangunan pemikiran keagamaan, maka karya Arkoun dinilai oleh sementara kalangan kurang memperoleh gaung di dalam masyarakat, pengikut berbagai agama. Bahasa yang digunakan Arkoun juga dinilai serba rumit dengan memakai istilah dan anggitan yang tanpa rumusan secara jelas dalam berbagai artinya yang berbeda-beda, sehingga cukup menyulitkan untuk dipahami, meskipun begitu mampu menumbuhkan kesadaran untuk memperluas cakrawala ilmu pengetahuan para pembacanya.
Mohammad Arkoun: Membuka Pluralisme Beragama
Mohammed Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun. “Kolonialisme secara fisik memang telah berakhir. Namun, paling tidak, pemikiran kita masih terjajah, tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh umat Islam,” ujar guru besar Universitas Sorbonne, Paris, itu dalam pembukaan seminar “Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi” di Jakarta, Senin (10/4), yang disesaki pengunjung yang sebagian besar kalangan muda.
Seminar ini diselenggarakan oleh Yayasan 2020 bekerja sama dengan Goethe Institute, Friedrich Naumann Stiftung, British Council, dan Departemen Agama. Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran, pada saat munculnya gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam Majelis Malam. Ketika berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka, yang dikenal dengan istilah munadharah.
Namun, memasuki abad ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, bahwa Islam adalah daulah (kerajaan). “Sebagai seorang ahli sejarah pemikiran Islam, bukan sebagai seorang politisi, saya katakan bahwa itu keliru,” kata Arkoun.
Dalam Islam klasik, kata Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan Alquran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.
Menurut Arkoun, umat Islam bisa membandingkan dengan agama Kristen secara teologis dan agama Katolik secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak dikontrol oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi modern, karena setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci.
Sebenarnya, umat Islam menemukan periode yang bisa memberikan harapan besar akan munculnya kembali keragaman dalam berpikir pada saat munculnya negara-negara baru pascakolonial. Namun, sayang, kesempatan itu hilang. Islam kemudian dipergunakan lebih sebagai alat politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keragaman.
Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, di mana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada manusia. Menurut dia, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada sebuah ruang baru kewarganegaraan dengan membuka kesempatan manusia dari seluruh belahan bumi untuk mendapatkan kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan yang berdiri di atas bangsa. “Ini revolusi dalam level politik,” kata Arkoun seraya menambahkan bahwa model ini bisa diadopsi oleh negara-negara muslim dan bertemu dengan pengalaman Eropa dalam perspektif humanisme. Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah- sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa asing, sejarah ,dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. “Marilah kita terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua pemikiran,” ujarnya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar