Minggu, 04 Maret 2012

sayyed Husen Nasr

PENDAHULUAN

Seyyed Hossein Nasr merupkan seorang filosof, ilmuwan Iran dan exponent Islam tradisional, dianggap sebagai salah seorang cendekiawan terpenting dalam kajian keislaman dan keagamaan. Keluasan interaksi akademiknya, baik di kalangan muslim atau non-muslim, ditambah kecerdasan dan kegigihannya dalam mencari pengetahuan yang membebaskan, menjadikannya memiliki keluasan wawasan.
Wajarlah jika Ia sangat dihormati, baik di Barat maupun dunia Islam. Ia juga dikenal luas sebagai pengarang sejumlah buku dan artikel yang laris. Lebih dari 50 buku dan 500 artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bukan itu saja, Nasr juga menyumbangkan pemikirannya terhadap Islam dengan bselaku kritis terhadap barat dan yang tak kalah penting adalah pemikirannya yang mengembangkan kembali filsafat terhadap umat Islam.











PEMBAHASAN

A.                     Biografi Sayyed Hussein Nasr
   Sayyed Hussein Nasr lahir pada tanggal 17 april 1933 di Teheran,Iran dari keluarga Ahli Bait yang terpelajar. Ibunya terdidik dalam keluarga ulama,sedangkan ayahnya Sayyed Waliyullah Nasr adalah seorang dokter dan pendidik pada dinasti Qajar yang diangkat sebagai pejabat setingkat menteri pada masa Reza Pahlevi.
   Sayyed Hussein Nasr mendapatkan pendidikan tradisional Iran yang masih  mengakar kuat di dalamnya nilai-nilai islam tradisional. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya Sayyed Hussein Nasr pindah ke Qum(sebuah kota kecil yang terletak di Iran Tengah) untuk mengkaji ilmu kalam,tasawuf dan terutama filsafat ini sesuai dengan tradisi pendidikan di Iran yang senantiasa memberikan kajian filsafat secara intensif. Sayyed Hussaein Nasr menempuh pendidikan di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University Amerika Serikat. Di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sayyed Hussein Nasr mempeoleh gelar B.S dan M..A dalam bidang fisika sedangkan diHarvard University dalam bidang geologi dan geofisika.[1]
   Pendidikan yang dilaluinya di dua universitas ini telah membawanya untuk menentukan pilihan terhadap sistematika keilmuan yang harus dijalaninya. Pertemuannya dengan Betrand Russel telah memberikan dampak berarti terhadap proses berfikirnya. Filsafat Barat Modern yang diajarkan padanya telah memunculkan ketegangan ketegangan-ketagangan dalam dirinya terhadap pengetahuannya akan pemilahan pemikiran Barat dan pemikiran Timur.
   Ketegangan ini semakin kuat sehingga memaksanya untuk mengubah haluan dari awal pendidikan yang dipilihnya. Lamanya disiplin pendidikan tradisional yang dijalankannya membawanya untuk berubah haluan dengan memilh Philosophy and History of Scince dalam spesialisasi Islamic Scince and Philosophy sampai meraih gelar Ph.D pada tahun 1958 dengan disertasi berjudul Since and Civilization in Islam. Spealisasi tersebut memberi academic credential pada Sayyed Hussein Nasr untuk berbicara tentang dirkrusus intelektual Barat.
   Selepas menamatkan studi di Universitas Harvard, ia melanjutkan karier mengajarnya di tanah kelahirannya, Iran. Sejak 1958, Nasr mengajar di Universitas Teheran. Lima tahun kemudian pada usia tiga puluh, ia diangkat sebagai profesor penuh dalam bidang studi filsafat dan ilmu sejarah di Universitas Teheran. Dan sejak 1968 hingga 1972, ia diangkat menjadi dekan fakultas sekaligus wakil rektor bidang akademik.
   Pada 1972, ia ditunjuk sebagai Rektor Universitas Aryamehr oleh penguasa Iran saat itu, Syah Iran. Universitas Aryamehr merupakan sekolah tinggi teknik dan sains terkemuka di Iran. Pemerintah Iran saat itu menginginkan adanya sebuah model universitas seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT) di negeri Paman Sam, namun tetap mengedepankan nilai-nilai budaya Iran. Karenanya, Nasr kemudian membuka program studi humaniora dalam bidang kajian budaya Islam dengan penekanan khusus pada filsafat Islam di Universitas Aryahmer.
Langkah Nasr ini menjadikan Universitas Aryamehr sebagai perguruan tinggi pertama di dunia Islam yang memiliki program pascasarjana dalam bidang ilmu filsafat Islam. Pada 1973, Ratu Iran menunjuk Profesor Nasr untuk mendirikan sebuah pusat kajian dan penyebaran filsafat bernama Iran Imperial Academy of Philosophy. Akademi filsafat ini di kemudian hari menjadi salah satu pusat kegiatan pengembangan ilmu filsafat yang paling utama di dunia Islam, perpustakaan filsafat terbaik di Iran serta menjadi rujukan bagi para sarjana filsafat, baik dari dunia Timur maupun Barat.
   Karenanya ketika pecah revolusi Iran di tahun 1979, ia bersama keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Amerika dan mengajar di Universitas Temple, Philadelphia. Dia mengajar di Universitas Temple selama kurun waktu 1979 hingga 1984. Dan sejak 1984 sampai sekarang ia mengajar di Universitas George Washington. Berbagai mata pelajaran dan bidang studi yang diajarkannya banyak memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan intelektualnya. Mata pelajaran yang ia ajarkan mulai dari bidang studi filsafat hingga spiritualitas agama, musik dan seni, arsitektur, ilmu eksakta, sastra, dialog peradaban dan lingkungan hidup.

B.                      Pemikiran Sayyed Husein Nasr
Tradisi keilmuan yang tertanam dalam diri Sayyed Hossein Nasr bisa dikatakan diwarisi dari keluarga ayahnya. Dia berasal dari keluarga ulama terkemuka dan dokter. Seperti halnya sang kakek, ayahnya, Sayyed Valiallah, adalah seorang dokter keluarga kerajaan Iran. Jadi, Nasr sejak kecil sudah mengalir dalam dirinya darah keilmuan, sudah sejak kecil dia  memperoleh keilmuan dan pengajaran di bidang studi Islam dan Persia. Nasr kecil juga menimba ilmu kepada ayahnya. Di sela-sela waktu luangnya, dia kerap berdiskusi selama berjam-jam dengan sang ayah, terutama mengenai isu seputar filsafat dan teologi. Rutinitas seperti ini ia lakoni hingga usianya menginjak 12 tahun.            Sungguh wajar jika ia pada akhirnya menjadi seorang filosof maupun ilmuwan yang berpengaruh di Iran.
Di usia 12 tahun, dia sudah belajar ke amerika untuk melanjutkan studinya, hal itulah yang membuat dia hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan barat modern. Banyak kalangan cendikiawan muslim yang menyoroti masalah kemunduran barat dari segi spiritual meskipun ketika itu dunia barat berkembang dari segi ilmu pengetahuan dan material, salah satunya Sayyid Husein Nasr. Tidak jarang cendikiawan muslim yang lainnya menganjurkan untuk mengambil nilai nilai barat sebagai pelengkap bagi kemajuan islam karena semakin lama peradaban islam semakin mengalami kemunduran.[2]
Sayyid Hussein Nasr mencoba menghubungkan ilmu pengetahuan dengan nilai nilai spiritual agama islam. Salah satu konsep beliau yang terkenal adalah “tradisionalisme islam”. Yang akan sedikit penulis bahas dalam makalah ini adalah konsep beliau tentang pengetahuan dalam hubungannya dengan kesucian. Tradisionalisme Islam merupakan gerakan respon terhadap kekacauan barat modern yang sedang mengalami kebobrokan spiritual. Nasr menyarankan agar timur melihat barat sebagai contoh, dan mengambil hikmah dan pelajaran sehingga Timur tidak mengulangi kesalahan-kesalahan Barat.
Pandangan Sayyid Hussein Nasr mengenai pengetahuan bisa kita lihat dari konsepnya mengenai tradisionalisme islam, yang juga mengandung penjelaasn tentang pandangannya mengenai kesucian. Menurut Sayyed Hussein Nasr, selama ini gerakan-gerakan fundamentalis atau revivalis Islam tak lebih merupakan dikotomi tradisionalisme-modernisme, keberadaannya justru menjadi terlalu radikal atau terlalu mengarah kepada misi politis dari pada nilai-nilai keagamaan. sekalipun gerakan-gerakan seperti itu, atas nama pembaharuan-pembaharuan tradisional Islam.
Pemahaman masyarakat yang kurang mengenai fundamentalisme Islam dan tradisionalisme islam menyebabkan kedua hal ini dianggap sama. Menurut Nasr keduanya bias dibedakan, bukan hanya dari kandungannya saja tetapi juga dari kegiatan yang dilakukan. Gerakan Tradisonalisme Islam yang ditawarkan oleh Nasr, merupakan gerakan untuk mengajak kembali ke ‘akar tradisi’; yang merupakan Kebenaran dan Sumber Asal segala sesuatu; dengan mencoba menghubungkan antara sekuler =Barat) dengan dimensi ke-Ilahiahan yang bersumber pada wahyu Agama. Karena pengetahuan di barat lebih berkembang daripada islam ketika itu. Agar nilai kesucian dari agama islam dapat menjiwai pengetahuan itu.[3]
Tradisonalisme Islam boleh dikatakan juga disebut sebagai gerakan intelektual secara universal untuk mampu merespons arus pemikiran Barat modern yang merupakan efek dari filsafat modern yang cenderung bersifat rasionalis, dan selanjutnya untuk sekaligus dapat membedakan gerakan Tradisionalisme Islam tersebut dengan gerakan Fundamentalisme Islam, seperti halnya yang dilakukan di Iran, Turki dan kelompok fundamentalis lain. Dengan kata lain Nasr berusaha menjadikan ajaran agama islam sebagai pondasi dasar atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Islam Tradisional mempertahankan syariah sebagai hukum Ilahi sebagiamana ia dipahami dan diartikan selama berabad-abad dan sebaimana ia dikristalkan dalam madzab-madzab klasik. Hukum menyangkut kefustifikan, Islam Tradisionalme mempertahankan Islamitas seni Islam, kaitannya dengan dimensi batini, wahyu Islam dan kristalisasi khazanah spiritual agama dalam bentuk-bentuk yang tampak dan terdengar, dan dalam domain politik, Perspektif tadisional selalu berpegang pada realisme yang didasarkan pada norma-norma Islam.[4]
Kemudian mengenai kesucian, manusia tentu saja tidak bisa mengangkat dirinya secara spiritual dengan begitu saja. Karena itu manusia memerlukan petunjuk Tuhan dan harus mengikuti petunjuk itu, agar dia dapat menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya dan agar ia mampu mengatasi rintangan dalam menggunakan akalnya. Nasr berkeyakinan bahwa akal dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan apabila akal itu sehat dan utuh (salim), dan hanya petunjuk Tuhan yang menjadi bukti yang paling meyakinkan dari pengetahuan-Nya yang dapat menjamin keutuhan dan kesehatan akal, sehingga akal dapat berfungsi dengan baik dan tidak perbutakan oleh nafsu keduniawian. Setiap orang membutuhkan petunjuk Tuhan dan nabi yang membawa petunjuk itu, kecuali ia sendiri terpilih, atau menjadi orang suci yang merupakan pengecualian.
Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengusahakan agar bagaimana iman, ilmu, dan teknologi senantiasa selalu berjalan beriringan. Dan mengembalikan posisi kemanusiaan dalam tempat semula yang lebih baik.  Manusia modern harus kembali diingatkan dan mengarahkan kepada kesucian, Tuhan yang merupakan asal dan sekaligus pusat dari segala sesuatu dan kepadanyalah manusia kembali. Tentulah sudah merupakan suatu konsekuensi apabila manusia harus mengabdi pada Tuhan. Pemisahan manusia dari kesempurnaan aslinya dan seluruh nilai-nilai ambivalen yang dimilikinya tentu hanya akan menggiring manusia pada apa yang dikatakan Kristen “kejatuhan”, tidak ada fungsi kekuatan-kekuatan ini yang semestinya dan secara otomatis menurut sifat teomorfis manusia. Manusia berada dalam belenggu kebebasan yang semu. kepada merekalah tradisi agama seharusnya disampaikan dan manusia-manusia batiniah inilah yang hendak dibebaskan treadisi dari belenggu ego dan keadaan yang mencekik. karena sebuah aspeknya dilupakan dan dianggap sama sekali eksternal, yaitu kesucian. Hanya tradisi islam yang dapat membebaskan mereka, bukan  agama-agama palsu yang pada saat ini sedang bermunculan.
            Dan kritiknya terhadap peradaban barat adalah hancurnya moralitas orang barat sendiri, padahal ilmu pengetahuan mereka lebih unggul dari pada umat Islam sendiri. Hal itu dikarenakan mereka telah melupakan makna sejati (hakikat) dari wujudnya, mereka telah mengetahui pengetahuan fisik, tetapi tidak dapat menundukan nafsunya. Misalnya peradaban barat telah mendapatkan nuklir, tetapi gagal mendapatkan ideologi dan spiritnya.
Salah satu bukti Nasr tentang kekritisannya terhadap barat adalah selama ia mengajar di Universitas Teheran, Nasr mendorong para mahasiswanya untuk belajar filsafat dan tradisi keilmuan lainnya dari sudut pandang mereka sendiri, bukan dari perspektif pemikiran dan filsafat Barat seperti yang diterapkan oleh banyak perguruan tinggi di dunia. Menurutnya, seseorang tidak bisa berharap banyak untuk bisa memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. Hal ini, ungkap dia, ibaratnya sama seperti orang yang berusaha melihat melalui mata orang lain. Jasa Nasr lainnya adalah ketika ia menjadikan Universitas Aryamehr sebagai perguruan tinggi pertama di dunia Islam yang memiliki program pascasarjana dalam bidang ilmu filsafat Islam.








KESIMPULAN

Pemikiran sayyid nasr mengenai integrasi antara pengetahuan dan kesucian yang beliau wujudkan dalam konsep mengenai tradisionalisme islam mengandung semangat pembaharuan (tajdid) yang merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikan Islam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Ilahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid engan renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya. Suatu renaisanas alam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. seorang mujaddid berbeda dengan seorang tokoh reformasi karena ia bersedia mengorbankan sebuah aspek tradisi agama, demi faktor ketergantungan tertentu yang paling ditonjolkan mereka sebagai mereka sebagai hal yang sangat mempesona, karena dikatakan kondisi zaman yang tak dapat dihindari atau ditolak.
Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal siapakah sesungguhnya dirinya dihadapan Tuhannya. Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materi saja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri, untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnya.










DAFTAR PUSTAKA

Munir.A, dan Sudarsono. 1994. Aliran Modern dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Nasr, Sayyid Husein. 1996. Intelektual Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mas’udi, 2005. Perenialisme Dalam Islam, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

http://asfa-widiyanto-scholarly.blogspot.com/2010/07/seyyed-hossein-nasr-peradaban-milenial.html

http://jurukunciilmu.blogspot.com/2010/05/sayyed-husen-nasr.html





[1] Mas’udi, Perenialisme Dalam Islam, Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta: 2005.20.
[2] Ibid, hlm. 27.
[3] Sayyid Husein Nasr, Intelektual Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hlm.31-33.
[4] Ibid, hlm. 35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar