Minggu, 04 Maret 2012

Al Farabi

BAB I
PENDAHULUAN
            Al-Farabi merupakan satu dari sekian filosof-filosof  Islam yang ditorehkan oleh sejarah. Pemikiran-pemikiran filsafatnya, telah membuka pemikiran filsafat yang sesuai dengan arti sesungguhnya. Bahkan menurut Massignon, dialah yang menjadi filosof pertama muslim dengan arti sesungguhnya. Banyak pemikirannya yang telah dituangkan dalam banyak karyanya.
            Sebagai seorang filosof yang mendapat julukan “guru kedua” (al-muallimu al-tsani) setelah “guru pertama” (al-Muallimu al-Awwalu), Aristoteles, Al-Farabi telah menjadi guru bagi para filosof-filosof yang datang sesudahnya, seperti Ibn Sina, Al-Ghazali serta Ibn Rusyd. Al-Farabi juga merupakan tokoh filosof muslim yang mencoba memadukan pemikiran Aristoteles dan Plato yang dikemasnya dengan metode ilmiah, walaupun dikemudian hari usahanya tersebut telah dinilai gagal.
           



           








BAB II
PEMBAHASAN
1.      Riwayat Hidup Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Al-Farabi merupakan penisbatan kepada kota kelahirannya, Farab. Al-Farabi dilahirkan pada tahun 870 M/257 H. Ayahnya merupakan asli orang Iran dan menikah dengan seorang wanita  yang berasal dari Turki yang tak lain adalah ibunya. Oleh sebab itu, Al-Farabi terkadang dikatakan sebagai keturunan Iran dan terkadang juga dikatakan sebagai keturunan Turki.[1]
Sejak kecilnya Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang ia kuasai antara lain ialah bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan. Setelah besar Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk belajar ke Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius.
Sesudah itu Al-Farabi pindah ke Harran –salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil– untuk berguru kepada Yahannah bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian Al-Farabi meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantiq (logika). Al-Farabi berdiam di Baghdad selama kurang lebih 30[2] tahun. Selama waktu itu ia memakai waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran, dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada waktu itu antara lain ialah Yahya bin ‘Ady.[3]
Pada tahun 330 H/941 M, ia pindah ke Damsyik, dan di sini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifudaulah, Khalifah dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehingga ia diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H/950 M pada usia 80 tahun.[4]
Banyak karangan yang telah ditinggalkan oleh Al-Farabi, akan tetapi karangan tersebut tidak banyak dikenal seperti karangan fisuf-filsuf lainnya. Di antara karya-karya Al-Farabi adalah:
1.      Agharadlu ma Ba’da al-Thabi’ah.
2.      Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan pendapat kedua filosof; Plato dan Arostoteles).
3.      Tahsil as-Sa’adah (Mencari kebahagiaan).
4.      ‘Uyun ul-Masail (pokok-pokok persoalan).
5.      Ara-u Ahl-Masail (pokok-pokok persoalan).
6.      Ih-sha’u al-Ulum (Statistik ilmu).

2.      Al-Farabi dan Kesatuan Filsafat
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi’ah Imamiah. Misalnya dalam soal mantiq dan filsafat fisika ia mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti plato dan dalam soal metafisika ia mengikuti Plotinus.
Usaha pemaduan sebenarnya sudah lama dimulai sebelum munculnya Al-Farabi dan telah mendapat pengaruh yang sangat luas dalam lapangan filsafat, terutama sejak adanya aliran Neo-Platonisme. Namun usaha Al-Farabi lebih luas lagi, karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tetapi ia juga berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya. Pendirian ini nampak jelas pada karangan-karangannya, terutama  dalam bukunya yang berjudul; Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain.
Al-Farabi telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertemukan antara Plato dan Aristoteles, dengan memakai metode ilmiah, yaitu meperbandingkan kata-kata  keduanya dan mengumpulkan pikiran-pikirannya yang tersebar di berbagai karangannya. Akan tetapi dasar usaha Al-Farabi terasebut lemah, yaitu keyakinan akan kesatuan filsafat di samping dugaannya yang salah, yaitu bahwa buku Theologia adalah karangan Aristoteles, sedang pengarang yang sebenarnya adalah Plotinus. Karena itu bolehlah dikatakan bahwa usaha tersebut telah gagal, sebab perbedaan pendapat antara kedua tokoh tersebut jelas sekali.
Meskipun usaha Al-Farabi tersebut dianggap gagal, namun dia telah membuka pintu pemaduan bagi filosof-filosof Islam yang datang sesudahnya. Al-Farabi juga telah memperte-mukan agama Islam di satu pihak dengan Plato dan Aristoteles di lain pihak. Menurut pendapatnya, agama Islam tidak bertentangan dengan filsafat Yunani. Kalau ada petentangan hanya dalam dzahirnya, tidak sampai menembus batinnya. Untuk menghilangkan pertentangan, kita harus menggunakan penakwilan filosofis dan meninggalkan permusuhan kata-kata.
3.      Pemikiran Filsafat Al-Farabi
Menurut masignon, ahli ketimuran Perancis, Al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama dengan sepenuh arti kata. Sebelum dia, memang al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Akan tetapi ia tidak menciptakan sistem filsafat tertentu, sedang persoalan-persoalan yang dibicarakan masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya Al-Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap dan telah memainkan peranan yang penting dalam dunia Islam. Selain itu, Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan filosof-filosof Islam yang datang sesudahnya. Oleh karena itu, ia mendapat gelar “guru kedua” (al-muallimu as-stani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar “guru pertama” (al-muallimu al-awwal).
Sebagai seorang filosof yang mendapat gelar “guru kedua”, Al-Farabi banyak melahirkan pemikiran-pemikiran serta sistem dalam filsafat. Banyak sudah literatur yanng membahas pemikiran filsafat Al-Farabi tersebut. Dalam makalah ini pun kami akan mencoba mengulas beberapa pemikiran tentang filsafat Al-Farabi.
A.    Filsafat Ketuhanan
Filsafat ketuhanan merupakan pembahasan yang sering diuraikan oleh sekian filosof-filosof muslim. Hal ini dianggap penting, melihat bahwa Tuhan merupakan wujud yang sempurna, wujud pencipta, wujud yang mumkin. Oleh sebab itu, uraian tentang Tuhan cukup menyita waktu para filosof-filosof, tidak terkecuali Al-Farabi yang mencoba memberikan sumbangsih pemikiran tentang Tuhan.
Sebelum berbicara tentang hakikat Tuhan dan sifat-sifat-Nya, Al-Farabi terlebih dahulu membagi wujud menjadi dua bagian;[5] Pertama. Wujud yang mumkin (wajibul wujud li-ghairihi), yaitu wujudnya sesuatu disebabkan oleh hakikat materi yang lain (wujud li-ghairihi). Misalnya, cahaya yang bisa wujud dan bisa tidak wujud. Wujudnya cahaya tersebut disebabkan oleh matahari yang mumkin wujud. Wujud yang mumkin tersebut menunjukkan adanya sebab yang Utama (Tuhan), karena segala yang mumkin semua harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Sehingga, segala sifat wujud yang mumkin tersebut (rangkaian wujud yang mumkin) harus berakhir pada kepada sifat yang memberi wujud, karena segala yang mumkin tidak bisa memberi wujud pada dirinya sendiri.
Kedua. Wujud nyata disebabkan oleh dirinya sendiri (wajibul wujud li-dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang menghendaki dirinya wujud, serta tidak bisa dipungkiri kewujudannya. Sebab, jika wujud ini tidak ada maka semua wujud yang mumkin tidak akan ada. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud, yaitu Tuhan.
Seperti uraian di atas, wujud Tuhan yang sempurna, maka wujud tersebut tidak mungkin ada pada selain Tuhan. Oleh sebab itu, maka Tuhan tidak lebih dari satu. Kalau kiranya Tuhan lebih dari satu, maka tuhan tersebut sama-sama sempurna, padahal hal ini mustahil. Lebih lanjut Al-Farabi berkata, atau adakalanya Tuhan itu berbeda sifat antara Tuhan yang satu dengan lainnya. Jika demikian, maka ada dua macam sifat yang dimiliki Tuhan, ada sifat umum yang dimiliki bersama-sama dan ada sifat lain yang dimiliki secara khusus. Dengan kata lain, terdapat bagian-bagian dalam zat tuhan, padahal yang demikian adalah mustahil.
Menurut Al-Farabi, karena Tuhan itu tunggal, maka batasan tentang Dia tidak dapat diberikan sama sekali, karena batasan merupakan suatu penyusunan antara variabel (fenomenologi). Sebagai wujud yang sempurna, seharusnya pengetahuan kita tentang Tuhan semakin jelas serta semakin teliti. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, pengetahuan kita tentang Tuhan semakin kabur.
Berbicara masalah sifat Tuhan, menurut Al-Farabi sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya, karena Tuhan adalah Tunggal. Juga zat Tuhan menjadi objek pemikiran Tuhan sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran adalah benda itu pula. Dari keterangan tentang Tuhan ini, kita melihat bagaimana Al-Farabi berusaha keras untuk menunjukkan keesaaan Tuhan dan Ketuggalan-Nya.[6]
B.     Filsafat Emanasi (al-Faidl)
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi. Proses emanasi itu adalah sebagai berikut.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama, Firs Heaven.
Wujud ketiga ini berpikir tentang wujud pertama, maka lahirlah wujud ke empat/akal ketiga. Wujud ketiga/akal kedua berpikir tentang dirinya sendiri, maka timbullah bintang-bintang. Kemudian wujud keempat tersebut berpikir tentang wujud pertama, maka lahirlah wujud kelima/akal keempat. Setelah itu ia berpikir tentang dirinya sendiri, maka lahirlah Saturnus. Selanjutnya wujud kelima/akal keempat berpekir tentang wujud pertama, maka lahirlah wujud keenam/akal kelima. Setelah itu, ia berpikir tentang dirinya sendiri maka lahirlah Jupiter. Begitulah seterusnya yang dapat digambarkan dengan bagan ini:[7]
Wujud VI/Akal V       ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------ dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI     ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------ dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal VII ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------ dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII   ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------ dirinya=Mercury

Wujud X/Akal IX       ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------ dirinyaBulan
Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.[8]
Mengapa jumlah akal dibatasi kepada bilangan sepuluh?  Hal ini didasari kepada bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Tetapi kenapa jumlah bintang tersebut berjumlah sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles berjumlah tujuh, kemudian Al-Farabi menambah dua lagi yaitu “benda langit yang terjauh” (al-falaq al-aqsa/as-sama al-ula) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) yang diambil dari Ptolemy (Caldius Ptolomaeus) seorang ahli astonomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad kedua Masehi.[9]
Sebelumnya al-Kindi sudah membicarakan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi. Disini ia menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak melalui Kun Fayakun seperti pemahaman tradisional. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis, dan dari sudut pandangan Islam heterodok (mengandung banyak bid’ah).[10] Menurut Al-Farabi alam terjadi dengan tidak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tidak berwaktu.
Namun, ketika menjelaskan konsep terciptanya alam tersebut, ada kesimpangsiuran masalah qidam atau tidaknya alam ini. Al-Farabi juga tidak jelas mengenai hal tersebut. Menurut beberapa peneliti, bagi Al-Farabi alam ini baru. Tetapi De Boer berpendapat, bahwa alam bagi Al-Farabi adalah qidam (tidak bermula). Akan tetapi yang jelas, alam tercipta dari pancaran Tuhan yang qidam.[11]
Berkaitan akal tersebut, Al-Farabi menjelaskan bahwa jiwa manusia merupakan pancaran dari akal kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu; Pertama. Gerak yang meliputi makan, memelihara dan berkembang. Kedua. Mengetahui yang meliputi merasa dan imajinasi. Ketiga. Berpikir yang meliputi akal praktis dan teoritis.[12]
Sebagaimana Al-Kindi, Al-Farabi juga membicarakan daya berpikir. Menurut dia, daya berpikir terdiri dari tiga tingkat; Akal potensial (material intellect), akal aktual (actual intellect) dan akal mustafad (acquired intellec). Akal potensial menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang ditangkap dengan pancaindera, akal aktual menangkap arti-arti dan konsep-konsep dan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan menangkap inspirasi dari akal yang di atas dan di luar diri manusia yaitu akal kesepuluh yang diberi nama “akal aktif” (al-‘aqlu al-Faal/active intellet), yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada sejak zaman azali.[13]
C.    Filsafat Kenabian
Masalah kenabian sebetulnya telah terjadi 14 abad silam, yaitu sejak masa Nabi. Di mana pada waktu itu kaum kafir Quraisy tidak mempercayai akan kenabian Muhammad SAW, karena bagi mereka Nabi Muhammad sama dengan manusia lainnya yang makan, minum serta melakukan kegiatan seperti manusia pada umumnya. Bahkan jauh sebelum Nabi Muhammad diutus, Nabi-nabi sebelumnya pun juga mendapat perlakuan yang demikian, yakni kenabiannya yang tidak diakui oleh kaumnya sendiri.
Ketidakpercayaan ini bukan hanya datang dari luar kaum muslim saja, bahkan dari orang-orang Islam sendiri juga ada yang demikian, misalnya, Ibn ar-Rawandi dan ar-Razi. Dalam bukunya yang berjudul Az-Zamarrudah, Ibn ar-Rawandi mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad SAW pada khususnya, mengkritik terhadap ajaran-ajaran Islam dan ibadahnya dan menolak kemukjizatan secara keseluruhan. Selain ar-Rawandi, ada juga ar-Razi yang menjadi penentang konsep kenabian. Penentangann ar-Razi terkait kenabian bisa dilihat melalui dua karyanya, yaitu Makhariq al-Anbiya aw hiyal al-Mutanabbi’in (mainan Nabi-nabi atau tipu daya orang mengaku menjadi Nabi) dan Naqld al-Adyan aw fi an-Nubuwwat (Menentang agama-agama atau tentang kenabian). Menyikapi hal ini, Al-Farabi berdiri di garda terdepan dengan konsep filsafatnya tentang kenabian. Al-Farabi merupakan filosof pertama yang membahas konsep kenabian secara komperhensif.[14]
Menurut Al-Farabi, manusia itu dapat berhubungan dengan akal Faal[15] meskipun hanya terbatas pada orang tertentu. Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu jalan pikiran dan jalan imajinasi (penghayalan), atau dalam perkataan lain, melalui renungan pikiran dan ispirasi (ilham). Sudah barang tentu tidak semua orang dapat menempuh akal Faal tersebut, melainkan hanya orang yang memiliki jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya.[16]
Menurutnya, filosof-filosof dapat mengetahui hakikat-hakikat karena dapat berkomunikasi dengan akal tersebut. Nabi dan Rasul pun demikian pula, dapat menerima wahyu, karena mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal tersebut. Antara filosof dan Nabi tidaklah sama. Jika para filosof ingin mengadakan komunikasi, maka dia harus berusaha dengan dirinya sendiri, yaitu dengan latihan dan kontemplasi, selanjutnya para filosof dapat berkomunikasi dengan akal mustafad. Sedangkan para Nabi dan Rasul tidak demikian, karena Nabi dan Rasul merupakan orang-orang pilihan yang sudah diberi kemampuan oleh Tuhan yang disebut dengan imajinasi. Dengan imajinasi ini, Nabi-nabi dan Rasul dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh panca indera dan dari tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan akal Faal (akal aktif).[17]
Oleh karena filosof daan Nabi atau Rasul mendapat pengetahuan mereka dari sumber yang satu, yaitu akal Faal, maka pengetahuan filsafat dan wahyu yang diterima Nabi tidak bertentangan. Mukjizat terjadi karena ada hubungan dengan akal Faal dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan.
Jadi ciri khas pertama seorang Nabi, menurut Al-Farabi, adalah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat yang dapat memungkinkan dirinya berhubungan langsung dengan akal Faal, baik di waktu terjaga maupun waktu tidur. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu yang mana wahyu merupakan limpahan dari Tuhan melalui akal Faal.[18]
Demikianlah konsep kenabian Al-Farabi guna memerangi mereka-mereka yang tidak percaya akan kenabian dan ajaran yang dibawanya.
D.    Teori Politik
Al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang paling banyak membicarakan soal-soal kemasyarakatan, meskipun sebetulnya dia bukanlah orang yang berkecipung dalam dunia kemasyarakatan. Soal-soal kemasyarakatan banyak dibicarakan dalam karanga-karangannya, di antaranya ialah  as-Siyasat al-Madaniyyat (politik kekotaan; politik kenegaraan) dan Ara’u ahli al-Madinah al-Fadlilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota/Negeri Utama). Pemikiran tentang ilmu kemasyarakatan ini merupakan representasi dari pemikiran Plato.
Kota, sebagaimana badan manusia, mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain rapat hubungannya dan mempunyai  fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam kota (masyarakat) kepada masing-masing anggota harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan masing-masing. Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala negara, yang dalam tubuh manusia serupa dengan posisi akal.
Menurut Al-Farabi, seorang kepala negara hendaknya harus memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan olehnya, yaitu; sehat badan, anggota badan selamat dan lengkap, ingatan yang kuat, kecerdasan yang tinggi, tanggapan yang cepat, tutur-kata yang baik, cinta kepada ilmu dan selalu menambah ilmu, menghiasi diri dengan kejujuran dan dapat dipercaya, membela keadilan, kuat kemauan, kuat cita-cita dan tidak rakus serta menjauhi kelezatan jasmani.
Syarat tersebut rasanya sulit sekali ditemui dalam diri seseorang sehingga pantas dijadikan seorang kepala negara. Bahkan hal ini diakui oleh Al-Farabi sendiri. Namun, untuk menutupi hal tersebut, Al-Farabi mencoba memberikan solusi lain dengan bentuk syarat yang berbeda. Syarat tersebut ialah bahwa kepala negara harus bisa mencapai akal Faal yang menjadi sumber wahyu dan ilham baginya.[19] Tugas kepala Negara, bukan hanya mengatur negara, tetapi mendidik masyarakat mempunyai akhlak yang baik. Sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rasul, jika tidak ditemukan maka seorang yang mempunyai sifat filosof, adil dan sebagainya.
Negeri-utama yang dikonsepsikan oleh al-Farabi mempunyai lawan-lawannya, yaitu negeri bodoh (al-madinah-aljahiliah), negeri fasik (al-madinah al-fasiqah), negeri yang beru-bah (al-madinah al-mutabaddilah), dan negeri sesat (al-madinah ad-dlallah).[20]
Negeri bodoh ialah suatu negeri dimana penduduknya tidak mengenal kebahagiaan, dan kebahagiaan ini tidak pernah terlintas dalam hatinya. Kalaupun ditunjukkan atau diingatkan, maka mereka tidak mempercayainya dan tidak mencarinya, dikatakan baik menurut mereka tidak lain adalah badan sehat, cukup harta, dapat memperoleh kesenangan materiil dan sebagainya. Sedang apa yang dikatakan kesengsaraan tidak lain hanyalah kebalikan itu.
Negeri fasik ialah suatu negeri dimana penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal-Faal, seperti penduduk negeri utama. Akan tetapi perbuatan-perbuatan mereka sama dengan perbuatan penduduk negeri bodoh. Jadi mereka berbuat lain daripada yang diucapkan dan dipercayai.
Negeri yang berubah ialah suatu negeri dimana penduduknya mula-mula mempunyai pikiran dan pendapat yang sama seperti yang dimiliki oleh penduduk negeri –utama. Akan tetapi kemudian mengalami kerusakan pada pikiran dan pendapat tersebut.
Negeri sesat ialah suatu negeri dimana penduduknya mempunyai pikiran-pikiran yang salah tentang Tuhan dan akal-Faal. Meskipun demikian kepala negeri itu menganggap dirinya mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang banyak dengan kata-kata dan perbuatannya.


BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun  harus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti al-Ghazali. Terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.



DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Falsafat danMistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2010.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990.
Nurisman, Pemikiran Metafisika Al-Farabi, DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004.


[1] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, hal. 81.
[2] Namun dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa Al-Farabi menetap di Baghdad selama kurang lebih 20 tahun. Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 16.
[3] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990,hal. 81.
[4] Ibid, halm. 81.
[5]A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990,, hal. 90
[6]A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, hlm. 92.
[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2010, hlm. 16-17.

[8] Harun Nasuition, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2010, hal. 18.
[9] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, hal. 94
[10] Nurisman, Pemikiran Metafisika Al-Farabi, DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004, halm. 93.
[11] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2010, hal. 18.
[12] Ibid, hal. 18.
[13] Ibid, hal. 19
[14] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, hal. 103.
[15] Akal Faal merupakan akal yang sepuluh dan yang berpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam alam ini. Akal Faal juga sumber penghubung antara manusia dengan Tuhan dan menjadi sumber hukum dan aturan yang diperlukan untuk kehidupan akhlak dan sosial. Liat A. Hanafi, halm. 104.
[16] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, hal. 104
[17] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2010, hal. 20.
[18]A.  Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, hal. 106.
[19]Ibid, hal. 96.
[20] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, hal. 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar