Sabtu, 03 Maret 2012

penciptaan Alam

BAB I
PENDAHULUAN
Allah menurunkan Al-Qur’an kepada umat manusia untuk dijadikan petunjuk demi keselamatan dan kebahagian mereka sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Namun, bukan membaca dan mengkaji makna Al-Qur’an saja yang harus dilakukan oleh manusia. Karena di dalam Al-Qur’an itu sendiri terdapat banyak anjuran yang mengajak manusia untuk menghayati alam semesta. Alam semesta adalah ciptaan Allah yang – karena ketergantungan sistem dan kehebatan yang dimilikinya – mengandung hikmah yang luar biasa. Dibalik kesempurnaan hukum alam semesta, terdapat bukti kekuasaan sang Pencipta. Maka dengan menyelidiki alam semesta, manusia akan semakin sadar dan insyaf akan kebesaran Tuhannya dan semakin besar keinginannya untuk selalu dekat dengan-Nya. Maka membaca dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an itu, disamping ayat-ayat Qauliyah (teks Al-Qur’an), Allah juga menciptakan alam semesta ini sebagai ayat-ayat Kauniyah (tanda alam semesta) yang keduanya saling melengkapi.[1]
Di antara bagian dari ayat-ayat Kauniyah tersebut adalah gambaran penciptaan alam semesta yang dijelaskan oleh Al-Qur’an empat belas abad silam. Dengan keagungan-Nya, Allah berfirman “dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa”[2]. Ayat ini merupakan ayat yang sering di-tiqrar oleh Allah dalam Al-Qur’an. Maka sejak ayat tersebut difirmankan, para mufassirin berlomba-lomba mencoba memahami ayat tersebut. Namun, satu problem yang muncul adalah ketika fakta-fakta ayat tersebut baru bisa dilihat pada zaman sekarang, ketika kemajuan teknologi semakin canggih.
Oleh karenanya, di sini penulis akan menguraikan ayat-ayat kauniyah tentang penciptaan alam semesta dari persefektif mufassir klasik, kontemporer hingga bagaimana tinjauan ilmu modern terhadap fakta-fakta Al-Qur’an yang dianggap ‘sesuai’ dengan penemuan teori ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Tinjauan Ayat-Ayat Al-Qur’an
1.2. Pembahasan Q.S. Al-Anbiya [21]: 30
óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`Ï\B Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ  
Artinya: “dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”. Q.S. Al-Anbiya [21]: 30.
A.    Asbabul Nuzul
Sejauh pelacakan penulis, asbab al-nuzul ayat ini tidak ditemukan, termasuk di dalam kitabnya as-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul.
B.     Tafsir Mufradat
الرتق : الضم و الالتحام خلقة كان او صنعة (Berpadu, baik secara ciptaan maupun secara buatan).      الفتق : الفصل بين الشيئين الملتصقين ( Pemisahan dua perkara yang melekat).[3]
C.     Tafsir Ayat
Iman Tanthawi (w. 1358 H.) menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa pada ratusan tahun silam jagad raya – yang terdiri dari tujuh lapis langit, planet-planet, bintang-bintang, matahari yang selanjutnya disebut dengan galaksi bima sakti—pada awalnya merupakan satu kesatuan, hingga kemudian Allah, dengan segala kekuasaan-Nya, memisahkan semua itu. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kandungan Q.S. al-Anbiya [21]: 30 tersebut, memperlihatkan pada kita satu fakta akan mukjizat Al-Qur’an yang baru diketahui fakta kebenarannya pada saat ini, di mana kemajuan teknologi semakin maju.[4]
Mengenai penafsiran ayat tersebut, Tanthawi melanjutkan, bahwa mayoritas mufassirin berdalih mengenai ayat ini bahwa pada waktu itu orang-orang kafir belum memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, sehingga ayat tersebut khitabnya kepada mereka. Menganai hal ini, orang-orang kafir balik mengomentari statement tersebut, bahwa mereka lebih mengetahui kandungan ayat tersebut, karena sepertinya ayat tersebut meminta penjelasan kepada orang-orang kafir sendiri. Hal ini bisa dibuktikan dengan realitas yang terjadi, di mana para cendekiawan muslim, terkait ayat tersebut, hanya bisa menakwilkan saja dengan penakwilan-penakwilan yang berbeda, hal ini dikarenakan pengetahuan mereka akan proses penciptaan alam ini kurang mumpuni.[5]
Berbeda dengan apa yang mampu dihasilkan oleh para non-muslim, di mana pada kandungan ayat tersebut –yang selama ini tersimpan keabsahannya—malah diketahui oleh orang-orang non-muslim. Oleh sebab demikian, seakan-akan teks Al-Qur’an berkata lain, yaitu:  سير اللذين كفروا أن السموات و الارض كانت مرتوقة ففصلنا بينهما “(pada suatu saat nanti) orang-orang kafir akan mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi merupakan satu yang padu, kemudian Kami memisahkan keduanya”.[6]
Sedangkan penggunaan bentuk madli dalam Q.S. al-Anbiya [21]: 30 tersebut, bukan menunjukkan makna lampau, melainkan menunjukkan makna mustaqbal (akan datang). Penggunaan bentuk ini juga digunakan oleh Al-Qur’an dalam ayat-ayat yang lain, seperti dalam kasus أتي أمر الله.[7] Ini merupakan bagian dari mukjizat Al-Qur’an yang tak terbantahkan, mukjizat yang sungguh sempurna. Namun, yang ironis adalah ketika orang-orang non-Islam mengetahui hal ini, akan tetapi sebagian besar dari mereka tetap tidak mau membuka mata terhadap kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an.[8]
Kata ratq dalam ayat tersebut diartikan sebagai ‘menyatu’ digunakan untuk merujuk pada dua zat yang berbeda yang membentuk sutu kesatuan. Ungkapan “Kami pisahkan antara keduanya” adalah terjemahan kata fataqa dan bermakna adalah bahwa sesuatu menjadi ada adalah melalui peristiwa pemisahan atau pemecahan struktur yang semula menyatu.[9] Kemudian istilah ini dikenal dengan teori Big-Bang, yang akan penulis jelaskan pada pembahasan yang akan datang.
1.2. Pembahasan Q.S. Fusshilat [41]: 11
§NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$uK¡¡9$# }Édur ×b%s{ߊ tA$s)sù $olm; ÇÚöF|Ï9ur $uÏKø$# %·æöqsÛ ÷rr& $\döx. !$tGs9$s% $oY÷s?r& tûüÏèͬ!$sÛ ÇÊÊÈ  
Artinya: “kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". Q.S. Fusshilat: 11.
A.    Asbabul Nuzul
Asbab al-nuzul ayat tersebut tidak penulis temukan.
B.     Tafsir Mufradat
إستوي: عمد و قصد نحوها قصدا سويا من قولهم إستوي إلي مكان كذا إذا توجه إليه توجها لا يلتفت معه إلي عمل اخر (menyengaja dan berkehendak kepada langit dengan kehendak yang mantap, seperti ucapan orang-orang (Arab) إستوي إلي مكان كذا, “Ia menuju tempat anu. (kesengajaan tersebut) apabila sudah melakukan (satu) pekerjan maka akan dikerjakan secara sungguh tanpa memperdulikan pekerjaan lain.
دخان: مادة غازية أشبه بالدخان (zat dalam bentuk gas yang mirip dengan asap).[10]
Sedangkan Imam Tanthawi menjelaskan bahwa kata dukhan disitu merupakan al-sahab al-raqiq (awan yang tipis), di mana hal itu difahami dengan al-bukhar al-muntasyir (uap yang mengelilingi jagad raya).
C.     Tafsir Ayat
Yang dimaksud dengan langit dalam ayat ini adalah ruang angkasa yang penuh dengan asap yang dihasilkan dari ledakan alam yang besar. Langit itu bukan yang terbentuk dari asap dan sebelumnya tidak terdapat langit lain.[11] Kata dukhan untuk ‘asap’ menggambarkan materi sebelum alam terbentuk, yaitu asap kosmik panas yang hadir dalam penciptaan jagad raya, sebagaimana yang kini diakui oleh para ilmuwan. Kata ini dalam Al-Qur’an menggambarkan al--Dukhan dengan sangat akurat karena mengandung arti bahwa gumpalan tersebut lebih kecil dari debu bahkan asap, yang berupa gumpalan gas hangat berisi partikel-partikel bergerak yang terhubung dengan subtansi padat.[12] Dengan ini, Al-Qur’an juga telah menerangkan bahwa semua lapisan langit serta benda-benda angkasa yang terhampar di sana dahulu berupa satu gumpalan. Kemudian materi yang berupa gumpalan yang memenuhi alam dalam bentuk asap tersebut bercerai-berai. [13] Di sini Al-Qur’an telah menggunakan kata dalam bahasa Arab yang paling tepat untuk menggambarkan jagat raya dalam fase ini. Dan hal ini baru bisa dibuktikan pada abad ke-20 ini.
Maka kemudian Allah berkata pada langit dan dan bumi –yaitu bagian dari bumi yang mengelilinginya sekitar ratusan juta tahun—“datanglah kalian berdua menurut perintah Ku dengan suka hati atau terpaksa". Maka kemudian keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". Hal ini, menurut Imam Tanthawi, ini merupakan petunjuk dari pergerakan yang terus-menerus sebagai pertanda adanya daya tarik (gravitasi). Gerakan tersebut merupakan gerakan yang seakan-akan sudah diatur, sehingga pergerakan yang terjadi merupakan pergerakan dalam bentuk ketaatan –sebagaimana dalam teks ayat tersebut “ataina thai’in”—bukan gerakan yang dipaksa. Yang demikian ini merupakan teori kemukjizatan Al-Qur’an yang berkaitan dengan gravitasi bumi.[14]
1.3.  Pembahasan Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 75-76.
* Ixsù ÞOÅ¡ø%é& ÆìÏ%ºuqyJÎ/ ÏQqàfZ9$# ÇÐÎÈ   ¼çm¯RÎ)ur ÒO|¡s)s9 öq©9 tbqßJn=÷ès? íOŠÏàtã ÇÐÏÈ  
Artinya: “Maka aku bersumpah dengan tempat-tempat jatuh dan terbenamnya bintang-bintang [75]. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui”[76]. Q.S. Al-Waqi’ah: 75-76.
A.    Asbabul Nuzul
واخرج مسلم عن إبن عباس قال: مطر الناس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أصبح من الناس شاكر ومنهم كافر، قالوا: هذه رحمة وضعها الله، وقال بعضهم: لقد صدق نوء كذا، فنزلت هذه الايات (فلا أقسم بمواقع النجوم) حتى بلغ (وتجعلون رزقكم أنكم تكذبون(
Artinya: Imam Muslim dari Ibn Abbas, berkata: suatu ketika manusia diberi hujan pada masa Nabi, lalu beliau berkata, “dengan hujan ini diantara manusia ada yang berubah menjadi hamba yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Sebagian mereka berkata, “hujan ini adalah adalah sebuah bukti rahmat Allah”, namun sebagian lain berkata “bintang ini dan ini sungguh telah benar”. Maka turunlah ayat ini  فلا أقسم بمواقع النجوم sampai pada ayat وتجعلون رزقكم أنكم تكذبون. (H.R. Muslim).[15]
B.     Tafsir Mufradat
مواقع النجوم: مساقط كواكب السماء و مغاربها (tempat-tempat jatuh dan terbenamnya bintang-bintang).[16]
C.     Tafsir Ayat
Melalui ayat di atas, Allah bersumpah dengan menyebut bagian dari golongan makhluk-Nya yang besar, sebagai dalil atas kebesaran penciptaannya. Dia bersumpah dengan menyebut matahari, bulan, siang, malam dan pada ayat ini Allah bersumpah dengan menyebut bintang. Abu Muslim al-Asfahani serta beberapa golongan dari para mufassir berpendapat bahwa kata La pada ayat tersebut bukanlah tambahan. Jadi, firman Allah ini diartikan menurut lahirnya saja yang langsung bisa difahami. Yakni makna ayat tersebut adalah, “Aku tidak bersumpah dengan tempat bintang-bintang”. Karena bagi mereka urusan Al-Qur’an sudah jelas, sehingga tidak membutuhkan sumpah apa pun, disamping sumpah merupakan perkara besar.[17]
Melalui ayat ini, Allah menjelaskan bahwa alam jagad raya ini yang sangat luas ini merupakan bukti dari kekuasaan Allah. Gaya bahasa Al-Qur’an sangatlah cerdas ketika ia berusaha menjelaskan kepada manusia tentang jarak jauh yang memisahkan antara bintang yang satu dengan yang lainnya. Yang demikian dilakukan dengan bersumpah kepada temapat rotasinya. Sebagaimana dalam ayat tersebut “Maka aku bersumpah dengan tempat-tempat jatuh dan terbenamnya bintang-bintang”. Dari sana, Al-Qur’an menjelaskan bahwa sumpah ini sangat penting seandainya manusia mampu mengetahui ukuran jarak tersebut.[18]
1.4.  Pembahasan Q.S. Hud [11]: 7.
uqèdur Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& šc%Ÿ2ur ¼çmä©ötã n?tã Ïä!$yJø9$# öNà2uqè=ö7uŠÏ9 öNä3ƒr& ß`|¡ômr& WxyJtã 3 úÈõs9ur |Mù=è% Nä3¯RÎ) šcqèOqãèö6¨B .`ÏB Ï÷èt/ ÏNöqyJø9$# £`s9qà)us9 tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿŸ2 ÷bÎ) !#x»yd žwÎ) ֍ósÅ ×ûüÎ7B ÇÐÈ  
Artinya: “dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". Q.S. Hud: 7.
A.    Asbabul Nuzul
Mengenai asbab al-nuzulnya, sebatas pencarian yang penulis lakukan, tidak ditemukan apa yang jadi asbab al-nuzulnya ayat tersebut.[19]
B.     Tafsir Mufradat
عرش: singgasana kekuasaan Allah yang diciptakan setelah Allah menciptakan air (ماء).
C.     Tafsir Ayat
Mengenai ayat tersebut, Ibn Katsir menjelaskan satu riwayat, dari Imam Ahmad yang meriwayatkan dari Waki’ bin Adas, dari pamannya, Abu Razin, yang bernama lengkap Luqaith bin ‘Amir bin Amir al-Munfiq al-‘Uqaili, ia bercerita: “Aku pernah bertanya pada Rasulullah, di mana Rabb kita sebelum Dia menciptakan makhluk-Nya?. Beliau Menjawab: كان في عماء ما تحته هواء وما فوقه هواء ثم خلق العرش بعد ذالك (Allah berada di atas awan, yang di bawah dan atasnya terdapat udara, setelah itu Ia menciptkan ‘Arasy).
Imam Tanthawi menjelaskan bahwa kata عماء tersebut memiliki dua makna. Pertama. Jika kata عماء tersebut tanpa menggunakan alif (dibaca pendek: عمي), maka yang dimaksud adalah ‘tidak adanya sesuatu’. Yaitu ketika Allah belum menciptakan makhluk sama sekali, termasuk di dalamnya penciptaan ‘Arasy. Sebagaimana pernyataan Abu Bakr al-Baihaqi yang dikutip oleh Imam Tanthawi dalam kitan “al-Asma wa al-Sifat Lahu”, yakni bahwa pemahaman yang demikian, disandarkan pada riwayata dari Rasul, yaitu: كان الله ولم يكن شيئ قبله (Allah ada dan tidak ada satupun (makhluk) sebelum-Nya). Dengan demikian, maka air dan ‘Arasy yang disebut dalam ayat di atas sebelumnya tidak ada. Barulah kemudian Allah mencipkaan air dan menciptakan ‘Arasy di atasnya sebagaimana yang digambarkan dalam ayat tersebut. Hal ini juga berimplikasi terhadap apa yang disebut oleh riwayat tersebut dengan istilah هواء , sehingga pemahamannya adalah لا شيئ موجد هواء ولا تحته هواء[20].
Selanjutnya, jika kata عماء tersebut menggunakan alif (dibaca panjang), sebagaimana dalam riwayat tersebut, maka yang dimaksud adalah ‘awan lembut’ (السحاب الرقيق), dimana yang dimaksud dengan السحاب الرقيق tersebut adalah ‘uap yang tersebar’ (البخار المنتشر). Di mana sesungguhnya jagad raya ini dikelilingi oleh dzat semacam uap yang berputar mengelilingi jagad raya. Hal ini juga terkait dengan ayat sebelumnya, Q.S. Fusshilat [41]: 11,yaitu ثم إستوى إلى السماء وهي دخان, maka kemudian terciptalah matahari, planet-planet, bintang-bintang (selain matahari). Yang demikian ini merupakan proses penciptaan galaksi bima sakti sebelum adanya seperti sekarang.[21]
Sedangkan mengenai فى ستة ايام (dalam waktu enam hari), ialah bahwa hari-hari tersebut tidaklah seperti yang diperkirakan oleh manusia bahwa hari-hari tersebut telah berlalu dan telah berakhir. Namun, hari-hari tersebut masih terus berlalu sampai detik ini. Hal ini berarti bahwa enam hari adalah waktu yang digunakan oleh Allah untuk menciptakan seluruh benda di alam ini.[22]
2.      Tinjaun Teori-teori Ilmiah Modern
Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan para ahli astronomi. Alasannya adalah penerimaan umum atas gagasan bahwa alam semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan beranggapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mempunyai awal. Tidak ada momen “penciptaan”, yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya muncul. Gagasan “keberadaan abadi” ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari filsafat materialisme.[23]
Sesuai dengan teori-teori dunia modern, alam ini tercipta dari sebagai hasil dari ledakan alam yang dahsyat yang mengeluarkan seluruh materi alam. pada zero hour (titik nol), alam ini dulu berbentuk titik materi yang sangat kecil, sangat panas dan padat. Para ilmuan memberi nama ledakan ini dengan “ledakan yang besar” (Big Bang). Namun para ilmuan tidak mengetahui dengan pasti isi dari materi dasar yang menjadi awal munculnya alam ini dan tidak pula mengetahui dari mana ia berasal, serta mengapa waktu tersebut ditentukan agar materi itu mengalami ledakan.[24]
Para ilmuan lebih condong memperkirakan materi alam ini ketika pertama kali mengalami ledakan adalah berupa materi yang memiliki satu sifat yang tersusun dari satu energi alami. Materi ini diperkirakan berasal dari satu ledakan yang sangat kuat kemudian mengembang dan bergerak sangat cepat yang akhirnya memenuhi seluruh angkasa. Yang demikian ini terjadi jika di sana terdapat ruang kosong yang diyakini oleh sebagian ilmuan bahwa ruang dan waktu itu telah muncul seiring dengan terjadinya ledakan tersebut. Alam ini dahulu berbentuk seperti bola api yang berisi awan bergerak-gerak. Bola ini kemudian semakin membesar dan melebar dengan bentuk yang mengagumkan hingga temperaturnya mencapai 3.000° C, berlangsung kurang lebih selama 100.000 tahun.[25]
Dari materi tersebut ditambah dengan energi, muncullah suatu keseimbangan yang luar biasa yang meliputi seluruh galaksi, bintang, matahari, bulan dan seluruh benda angkasa lainnya. Hukum alam pun terbentu yang kemudian disebut dengan hukum ‘fisika’. Hukum ini seragam diseluruh penjuru alam semesta dan tidak berubah. Hukum fisika yang muncul bersamaan dengan Big Bang tidak berubah sama sekali dalam jangka waktu kurang lebih 15 miliyar tahun.[26]
Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut dengan materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana materi, energi bhkan waktu belum ada, dan hanya mampu diartikan secara metafisikal saja. Kemudian barulah tercipta materi, energi dan waktu. Fakta-fakta tersebut merupakan penemuan penting[27] dalam abad ini, sudah disampaikan oleh Al-Qur’an jauh sebelum ini, empat belas abad silam. Dari penemuan-penemuan tersebut, merupakan satu bukti nyata kemukjizatan Al-Qur’an yang tersimpan dalam Q.S. al-Anbiya [21]: 30 dan Q.S. Fusshilat [41]: 11. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.
Fase kedua dari penciptaan alam adalah fase dari penciptaan galaksi dan bintang-bintang dari asap tersebut yang terdiri dari proton,[28] neutro,[29] elektron[30] dan photon. Setelah alam ini membeku hingga mencapai -3.000° Kelvin, neutron-neutron tersebut mulai menyatu dengan proton sebagai hasil dari pengaruh energi elektromagnetis yang membentuk atom-atom hidrogen, yang terdiri dari satu proton dan satu elektron.
Bentuk alam tetap sama seperti saat ini. Materi asap yang terdiri dari atom-atom hidrogen dan neutron tersebar ke berbagai penjuru alam secara merata dengan kepadatan yang sama. Ketika massa hidrogen mencapai jumlah tertentu dan menekan jumlah hidrogen pada pusat massa tersebut, maka temperaturnya akan meninggi sampai batas tertentu dan terjadilah proses peleburan nuklir antara atom-atom hidrogen yang menghasilkan atom-atom helium. Proses tersebut juga menghasilkan energi yang besar hingga membentuk bintang.[31]
Ringkasnya teori ini adalah terjadinya ledakan besar kedua dan hasil dari kejadian fenomena fisika yang langka yang dinamakan dengan reaksi akhir. Alam mulai meluas dengan ukuran yang lebih besar dari yang tertulis dalam teori ledakan besar. Perluasan yang mengejutkan pada alam ini menghasilkan beberapa zona materi yang terus menerus mengge-lembung yang memisahkan batasan-batasan yang kuat dan setiap gelembung membentuk alam yang khusus. Teori ini dikuatkan dengan teori Al-Qur’an, sebagaimana dalam Q.S. Fushilat [41]: 12, bahwa alam besar dan berukuran luas  yang kita saksikan ini atau dengan apa yang dinamakan alam kasat mata, hanyalah jumlah kecil dari alam ini yang tidak bisa ditentukan dengan teori. Maha benar Allah dengan segala ciptaan-Nya.[32]
Fase ketiga dari penciptaan alam adalah fase penciptaan planet-planet, khususnya planet-planet yang mengitari matahari, termasuk di antaranya adalah planet bumi yang dipermukaannya ada makhluk hidup. Teori ilmu modern yang paling berkembang tentang pembentukan planet-planet di sekitar bintang-bintang atau bulan-bulan disekitar planet-planetnya, adalah teori yang menyatakan bahwa materi yang membentuk planet yang mengitari matahari tersebut berasal dari luar matahari dan bersandar pada keyakinan bahwa kuantitas unsur-unsur alami yang terdapat dalam planet-planet tersebut, terutama bumi, tidak mungkin dihasilkan dari matahari.[33]
Para ahli menguatkan hal itu dengan sebuah pendapat bahwa materi planet berasal dari ledakan bintang yang berjumlah banyak setelah kehabisan bahan bakar yang berupa hidrogen dan unsur-unsur ringan lainnya yang mengubah menjadi unsur-unsur alami yang berbeda-beda. Materi-materi bintang yang berterbangan jatuh pada seluruh gravitasi matahari, lalu mulai berotasi mengelilinginya dan akhirnya membentuk planet-planet yang berbeda. Hal ini merupakan hasil dari energi gravitasi antara materi-materi yang berterbangan  yang jumlahnya tak terhingga.[34]
Berdasarkan uraian singkat tentang bagaimana teori fisika modern menggambarkan tentang proses penciptaan alam ini, maka kita bisa memahami bahwa ayat Al-Qur’an adalah sebuak kitab suci yang tidak bertentangan dengan kemajuan sain modern dan apa yang terkandung di dalamnya, kiranya bisa menjadi ibrah bagi kita agar lebih mendekatkan diri kepada Pencipta alam semesta ini beserta seluruh isinya.


BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Ini merupakan satu dari bagian sisi kemukjizatan yang terkandung di dalamnya. Di mana kemukjizatan Al-Qur’an itu salah satunya adalah isyarat ghaib (berita yang terjadi pada masa yang akan datang). Karena fakta-fakta yang terungkap dari berita-berita yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan juga dijelaskan dalam beberapa al-Sunnah Nabi-Nya, baru bisa dibuktikan kebenarannya pada saat ini. Namun, yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam teori ilmu pengetahuan (science) tidak ada istilah stagnasi ilmu pengetahuan yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut berjalan secara dinamis. Dengan demikian, maka suatu saat tidak menutup kemungkinan bahwa teori penciptaan jagad raya pada waktu ini bisa saja berubah sesuai dengan fakta-fakta yang berbeda dengan saat ini. Pada ranah ini, maka akan timbul pertanyaan apakah Al-Qur’an salah? Ataukah fakta sainsnya yang salah? Untuk hal ini, mengutip pernyataan M. Quraish Shihab, adalah yang harus dijadikan perhatian bukanlah hal itu, melainkan apakah ada di dalam Al-Qur’an yang melarang atau mengahalangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Arfan, Abbas Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah, Malang: UIN Malang Press, 2009.
Al-Maghari,  Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maghari, Juz XXVII, Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 2006.
Firdaus,  Feris, Alam Semesta, Yogyakarta: Insania Cita Press, 2004.
Jauhari , Tanthawi, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004.
Thalhah,  Hisyam, dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Sapta Sentosa, 2009
Lidwa Pusaka, Ensiklopedi Hadis Kitab 9 Imam, Ver. 2010.


[1] Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hal. 29.
[2] Q.S. Hud: 7.
[3] Ahmad Mustafa Al-Maghari, Tafsir al-Maghari, Juz VII (Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 2006), hal. 161.
[4] Tanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz X (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hal. 240.
[5] Tanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz X (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hal. 240.
[6] Tanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz X (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hal. 240.
[7] Q.S. al-Nahl [16]: 1.
[8] Tanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz X (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hal. 240.
[9] Harun Yahya, Keajaiban Al-Qur’an (terj), (Bandung: Al-Attique Publishers, 2001), hal. 8.
[10] Ahmad Mustafa Al-Maghari, Tafsir al-Maghari, (Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 2006), hal. 57.
[11] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal.hal. 8.
[12] Harun Yahya, Keajaiban Al-Qur’an (terj), (Bandung: Al-Attique Publishers, 2001), hal. 8.
[13] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal.9.
[14] Tanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz 19 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hal. 107-108.
[15] Lidwa Pusaka, Ensiklopedi Hadis Kitab 9 Imam (Kitabu al-Tis’ah); Sahih Muslim, no.107, Ver. 2010.
[16] Ahmad Mustafa Al-Maghari, Tafsir al-Maghari, Juz IX, (Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 2006), hal. 413.
[17] Ahmad Mustafa Al-Maghari, Tafsir al-Maghari, Juz XXVII, (Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 2006), hal.
[18] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal. 18.
[19] Lihat al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul li al-Suyuthi.
[20] Tanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz VI(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hal. 157.
[21] Tanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz VI (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hal. 157.
[22] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal. 24.
[23] Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di dunia Yunani kuno, menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagat raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filsafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawi dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemun-duran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan luas di antara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap filsafat Yunani kuno.
[24] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal. 3-4
[25] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal. 4.
[26] Feris Firdaus, Alam Semesta, (Yogyakarta: Insania Cita Press, 2004), hal. 74.
[27] Salah satu penemuan terpenting tersebut, adalah ditemukannya radiasi latar belakang kosmik dalam bentuk gelombang mikro (Cosmic Microwave Background atau CMB) merupakan salah satu penemuan terpenting abad ini. Betapa tidak, penemuan ini telah mengubah pandangan modern manusia tentang alam semesta yang dihuninya. Meski fenomena pengembangan alam semesta telah lebih dulu diungkap oleh Edwin Hubble pada tahun 1929, penemuan CMB memperkuat dukungan pada teori Big Bang, suatu teori penciptaan alam semesta melalui ledakan maha dahsyat dari titik berukuran nol dengan kerapatan serta suhu tak berhingga tingginya.
[28] Semacam zat yang menjadi bagian dari atom.
[29] Unsur dasar tidak bermuatan listrik pada inti atom.
[30] Ion yang bermuatan listrik negatif.
[31] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal. 12.
[32] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal. 12-13.
[33] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal. 18.
[34] Hisyam Thalhah dkk, Ensikopedia Mukijizat Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Sapta Sentosa, 2009), hal. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar