Minggu, 04 Maret 2012

Ibn Bajah

BAB I
PENDAHULUAN

Ibnu Bajjah atau lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh  merupakan filsuf dan dokter Muslim Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama Latinnya, Avempace. Ia lahir di Saragossa di tempat yang kini bernama Spanyol dan meninggal di Fez pada 1138. Pemikirannya memiliki pengaruh yang jelas pada Ibnu Rushdi dan Yang Besar Albert. Kebanyakan buku dan tulisannya tidak lengkap (atau teratur baik) karena kematiannya yang cepat. Ia memiliki pengetahuan yang luas pada kedokteran, Matematika, dan Astronomi. Sumbangan utamanya pada filsafat Islam ialah gagasannya pada Fenomenologi Jiwa, namun sayangnya tak lengkap.
Kehebatannya dalam filasat setara dengan Al-Farabi ataupun Aristoteles. Pemikirannya tentang filsafat sangat memengaruhi Ibnu Rusyd dan Albertus Magnus. Ibnu Bajjah menemukan gagasan filsafat ketuhanan. Ia menetapkan manusia boleh berhubungan dengan akal fa'al melalui perantaraan ilmu pengetahuan dan pembangunan potensi manusia. Singkatnya, Ibnu Bajjah merupakan filsuf Islam yang kaya konsep pemikiran filsafatnya. Oleh karenya, cukup urgen untuk dibahas dan mengeksplore pemikiran-pemikiran filsafatnya, dengan tujuan, kepentingan akademik khususnya, dan kemudian berupaya mengembangkan kosep filsafatnya lebih jauh.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat hidup Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh  at-Tujibi al-Andalusi as-Saraqusti. Di Barat ia dikenal dengan nama Avempace.  Ia dilahirkan pada pertengahan abad ke 12 Masehi, tepatnya pada tahun 1139, demikian versi yang dikemukan oleh buku “Ensiklopedi Islam”.[1] Namun, menurut A. Hanafi Ibnu Bajjah dilahirkan pada abad ke-11 Masehi, sedangkan masalah tepat tahun kelahirannya tidak ada kepastian.[2] Ia berasal dari keluarga at-Tujib, karena itu ia juga dikenal dengan at-Tujibi. Ia dibesarkan di Zaragoza dan menyelesaikan pendidikan dasar menengahnya di sana.
Para pakar sejarah memandangnya sebagai orang yang berpengetahuan luas dan menguasai tidak kurang dari dua belas bidang ilmu. Karena Ibnu Bajjah menguasai sastra, tata bahas dan filsafat kuno, oleh tokoh sezamannya ia disejajarkan dengan asy-Syaikh ar-Ra’is, Ibnu Sina. Lantaran ketenarannya itu,  Abu Bakar Sahrawi, gubenur Zaragoza, mengangkatnya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahannya.
Ketika Zarogoza jatuh ke tangan Alfonso I, Raja Aragon, pada tahun 512 H/ 1118 M, Ibnu Bajjah perge ke Seville dan tinggal di sana sebagai dokter/tabib. Sesudah Seville juga diduduki Raja Al-Fonso I, beberapa waktu kemudian, ia pindah ke Granada. Di Syatibah (Jativa, selatan Valencia, Spanyol), ia dipenjarakan oleh amir setempat dengan tuduhan membuat bid’ah, tetapi segera dibebaskan. Setelah bebas, ia pergi ke Fez (Maroko), memasuki istana gubenur Abu Bakar Yahya bin Yusuf bin Tasyfin dan lagi-lagi menduduki kursi jabatan lantaran keahlian dan kemampuannya. Ia menjadi pejabat selama kurang lebih 20 tahun. Musuh-musuhnya mencapnya sebagai ahli bid’ah dan beberapa kali mengadakan uasaha pembunuhan terhadapnya. Semua usaha itu gagal dan baru berhasil dilakukan oleh seorang dokter dengan cara di racun.[3]
Menurut Ibnu Tufayl, generasi pertama sarjana-sarjana Spanyol menyibukkan diri dengan studi ilmu matematika dan generasi selanjutnya memberikan sumbangan yang menentukan terhadap studi logika, tetapi sumbangan mereka itu kurang lengkap. Akhirnya kelompok baru para sarjana yang lebih ahli di bidang filsafat abstrak, muncul di atas panggung. Ibn Bajjah berada di garis terdepan kelompok terakhir ini. Oleh karena itulah ia dapat dikatagorikan sebagai tokoh utama dan pertama dalam sejarah filsafat Spanyol-Arab.[4]
B.     Hasil Karya Ibnu Bajjah
Ketenaran ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Bajjah dituangkan olehnya dalam banyak karya, di antara karya tersebut adalah:
1.      Beberapa risalah dalam ilmu logika dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
2.      Risalah tentang jiwa.
3.      Risalah al-Ittisal, mengenai manusia dan akal Faal.
4.      Risalah Al-Wada’, berisi tentang ilmu pengobatan.
5.      Beberapa risalah tentang ilmu falaq dan ketabiban.
6.      Risalah Tadbir al-Mutawahhid.
7.      Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain; Aristoteles, al-Farabi, Porphyrius dan lain sebagainya.
Menurut Carra de Vaux, seperti yang diungkapkan A. Hanafi, bahwa di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajjah.[5]
Di antara karya-karya tersebut yang paling penting adalah risalah Tadbir al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala macam keburukan masyarakat, yang disebutnya mutawahhid, yang memiliki arti “menyendiri”. Menurut Hanafi, isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga memungkinkan kita mempunyai gambaran-gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk bertemu dengan akal faal dan menjadi salah satu unsur pokok dari negeri idaman.[6]
Karya yang juga tidak kalah pentingnya, Risalah al-Ittishal, Ibnu Bajjah membagi manusia dalam tiga golongan, yaitu kaum awam (al-jumhur), an-Nudzdzar (kaum khawas atau kaum cendekiawan) dan kaum yang bahagia. Selain itu, dalam risalah ini juga dibahas antara hubungan manusia dengan akal faal (akal aktif) yang bisa menjadikan manusia dapat berhubungan dengan Tuhan.

C.    Ajaran Filsafat Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah adalah ahli yang menyandarkan pada teori dan paktek ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi ilmu spekulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika, sebagaimana yang dikatakan De Boer dalam The History of Philosophi in Islam, bahwa dia benar-benar sesuai dengan Al-Farabi dalam tulisan-tulisan logikanya dan secara umum setuju dengan Al-Faraby, bahkan dengan dokrin-dokrin fisika dan metafisikanya.[7]
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa Ibnu Bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya Al-Faraby, namun penelitian filsafat yang ia lakukan tidak sama dengan yang dilakukan Al-Faraby, karena sumber pemikiran filsafat Al-Faraby hanya berdasarkan nalar semata. Seperti halnya juga Al-Faraby, Ibnu Bajjah sangat mengagumi pemikiran filsafat Aristoteles, itulah sebabnya Ibnu Bajjah banyak menulis uraian tentang filsafat Aristoteles. Oleh karenanya, Ibnu Bajjah juga melahirkan banyak pemikiran filsafat yang berkaitan dengan fisika. Di antara konsepnya dalam bidang filsafat, ialah:
1.      Materi dan Bentuk
Pendapat De Boer bahwa: “Ibnu Bajjah memulai deasumsi bahwa materi itu tidak bisa bereksistensi tanpa adanya bentuk sedangkan bentuk dapat bereksistensi dengan sendirinya tanpa harus adanya materi”. Pernyataan tersebut menurut Ibnu Bajjah adalah pernyataan yang keliru. Menurutnya, materi dapat bereksistensi harus ada bentuk. Dia berargumen jika materi berbentuk, maka ia akan terbagi menjadi materi dan bentuk dan begitu seterusnya. Ibnu Bajjah menyatakan bahwa bentuk pertama merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai “tidak mempunyai bentuk”.[8]
Dalam tulisan-tulisan Ibnu Bajjah, kata bentuk dipakai untuk mencakup berbagai arti; jiwa, sosok, kekuatan, makna dan konsep. Menurut pendapatnya, bentuk suatu tubuh memiliki tiga tingkatan; 1). Bentuk jiwa umum atau bentuk intelektual. 2). Bentuk kejiwaan khusus. 3). Bentuk fisik.
Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan sebagai berikut:
a.       Bentuk-bentuk tubuh sirkular hanya memiliki hubungan sirkular dengan materi,
 sehingga bentuk-bentuk itu bisa membuat kejelasan materi dan menjadi sempurna.
b.      Kejelasan materi yang bereksistensi dalam materi.
c.       Bentuk-bentuk yang bereksistensi dalam indera-indera jiwa-akal sehat, indera hayali, ingatan dan sebagainya, dan yang berada di antara bentuk-bentuk kejiwaan dan kejelasan materi.
Bentuk-bentuk itu yang berkaitan dengan aktif, oleh Ibnu Bajjah,  dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan umum dan bentuk-bentuk yang berkaitan denga akal sehat dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus. Perbedaan ini dilakukan karena bentuk-bentuk kejiwaan umum hanya memiliki satu hubungan dan hubungan itu ialah dengan yang menerima, sedangkan bentuk-bentuk kejiwaan khusus memiliki dua hubungan, hubungan khusus dengan yang berakal sehat dan hubungan umum dengan yang terasa.[9]
2.      Akhlak
Ibnu Bajjah membagi perbuatan-perbuatan manusia ke dalam dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif –naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh, yang disebutnya dengan tindakan hewani. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih, yang disebutnya dengan tindakan manusia.[10]
Ibnu Bajjah membawa perhatian kita kepada unsur-unsur manusiawi aktif, sebut Ahmad Mustafa, sebab manusia terlalu tinggi untuk dikualifikasikan dengan unsur-unsur pasif yang bersifat material atau hewani. Unsur manusia untuk mempelajari adalah unsur pasif, sedangkan unsur aktif menginginkan mencapai kesempurnaan. Dan pengulangan cara itu dilaksanakan hanya melalui pendapat dan ruh yang berhasarat. Apa yang dilaksanakan karena ruh yang mengandung hasrat merupakan tindakan yang dilakukan “agen” demi dirinya sendiri. Sedangkan apa yang dilakukan pendapat adalah tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang lain. Ruh yang mengandung hasrat menginginkan suatu objek yang besifat kekal, keinginan itu disebut kesenangan dan ketiadaannya disebut kejemuan dan kesakitan. Menurut Ibnu Bajjah, siapapun yang betindak dengan cara ini dianggap telah melakukan tindakan hewani, dan sebaliknya, perbuatan yang didasari pada pendapat adalah tindakan manusiawi.[11]
Menurut Ibnu Bajjah, pangkal perbedaan di antara keduanya bukan perbuatannya melainkan motif yang mendorongnya. Dalam upaya mencari klasifikasi, apakah suatu perbuatan itu disebut tindakan manusiawi atau hewani, perlulah memilki spekulasi di samping kemauan. Dari sifat spekulatif dan kemauan ini, Ibnu Bajjah membagi kebajikan menjadi dua jenis yakni kebajikan formal dan kebajikan spekulatif. Kebajikan formal merupakan sifat yang dibawa sejak lahir tanpa adanya pengaruh maupun spekulasi. Sedangkan kebajikan spekulatif  didasarkan pada kemauan bebas dan spekulasi. Dan tindakan yang dilakukan demi kebenaran adalah tindakan Tuhan bukan manusiawi, sebab hal ini jarang terdapat pada manusia.
Setiap orang yang hendak menundukkan tindakan hewani pada dirinya, menurut Ibnu Bajjah, maka orang tersebut tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka tindakan hewani tunduk pada tindakan kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan manusia disebabkan tunduk pada naluri.[12]
3.      Jiwa
Pembahasan terhadap jiwa, Ibnu Bajjah mendasarkan kepada fisika. Ia memulai denga definisi jiwa dan menyatakan bahwa tubuh, baik yang alamiah maupun yang tidak alamiah, tersusun dari materi dan bentuk-bentuk merupakan perolehan permanen atau kenyataan tubuh. Kenyataan ini bermacam-macam ia memiliki segala yang bereksistensi yang melaksanakan fungsi mereka tanpa harus digerakkan atau segala yang bergerak atau aktif bila mereka diaktifkan. Tubuh jenis kedua ini terdiri atas penggerak dan yang digerakkan. Sedangkan tubuh yang tidak alamiah memiliki penggerak luar dan bentuk yang membuat nyata tubuh inilah yang disebut dengan jiwa. Karena itu jiwa dianggap pernyataan pertama dalam tubuh alamiah dan teratur yang bersifat nutritif (mengandung zat-zat untuk badan), sensitif (kepekaan) dan imajinatif (rasional).[13]
Nutrisi mempunyai dua tujuan yaitu pertumbuhan dan reproduksi. Hal ini disebabkan karena setiap makhluk yang fana harus melaksanakan suatu fungsi khusus demi kedudukannya di alam raya ini. Lebih lanjut menurutnya, unsur ini (nutrisi) tidak hanya menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menjaga tubuh, melainkan juga menyediakan suatu kelebihan yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Apabila pertumbuhan itu tercapai, maka kelebihan itu digunakan untuk reproduksi pada tubuh yang bersifat reproduktif. Unsur reproduktif adalah akal aktual yang mengubah suatu jenis yang potensial menjadi tubuh aktual.
Panca indera adalah merupakan lima unsur dari suatu indera tunggal yaitu akal sehat dan akal sebagai realisasi penuh suatu tubuh secara keseluruhan dan karena disebut sebagai jiwa. Unsur ini juga mensuplai materi untuk unsur imajinasi yang terorganisir. Oleh karenanya unsur ini didahului oleh sensasi yang mensuplai materi kepadanya. Sebab itu, sensasi dan imajinasi telah dianggap sebagai dua jenis persepsi jiwa.
4.      Akal dan Pengetahuan
Menurut Ibnu Bajjah, pengetahuan yang benar dapat diperoleh melalui akal dan akal ini merupakan satu-satunya sarana yang dapat mewujudkan untuk mencapai kemakmuran dan membangun kepribadiannya. Menurut dirinya, keajaiban yang ada di antara akal dan unsur imajinasi adalah lewat ruh yang tajam.
Ibnu Bajjah percaya pada kemajemukan dan mengacu pada akal pertama dan akal kedua. Ia berpendapat, akal manusia paling jauh adalah akal pertama. Lebih jauh, ia menjelaskan tingkat-tingkat akal dengan mengatakan bahwa sebagian akal secara langsung berasal dari akal pertama; sebagian lain berasal dari akal-akal lain, hubungan antara yang diperoleh dan tempat asal akal yang diperoleh itu sama dengan hubungan cahaya matahri yang ada di dalam rumah dan cahaya matahari yang ada di halaman rumah.[14]
Menurut Ibnu Bajjah, akal manusia, setapak demi setapak, mendekati akal pertama dengan dua hal, yaitu: Pertama. Meraih pengetahuan yang didasarkan pada bukti, yang dalam hal itu, akal paling tinggi direalisasikan sebagai bentuk. Kedua. Memperoleh pengetahuan tanpa mempelajarinya atau berusaha meraihnya. Pendekatan melalui cara kedua ini adalah suatu metode yang digunakan oleh orang-orang sufi khususnya Al-Ghazali, karena metode ini dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan.[15]
5.      Teori Ittishal
Seperti halnya Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak diperoleh semata-mata melalui panca indera. Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya, isi ilmu yang prediktif dan eksplanatif serta landasan bagi penalaran opodeiktik tentang alam, hanya dapat dicapai dengan bantuan akal aktif (aqal fa’al).
Dalam mengelaborasi “akal aktif”, Ibnu Bajjah memaparkan empat prinsip tentang proses akal tersebut dapat terbentuk, yaitu sebagai berikut:[16]
Pertama. Dari hubungan antara sarana dan tujuan, sarana khususnya sangat diperlukan bagi tujuan di alam; tetapi di alam gagasan, tujuanlah yang pertama-tama hadir. Dan gagasan itu biasanya mendahului badan, atau tidak akan ada kepastian yang mengatasi (dan mengarahkan) permainan kejadian dan kehancuran tak terkendali dan yang sebaliknya.
Kedua. Dari proses perubahan. Segala sesuatu menjadi bukan seperti mereka sekarang; mereka tidak menjadi sebab-sebab, tetapi menjadi seperti sebab-sebab yang mengahasilkan perubahan dalam diri mereka. Dengan demikian, perubahan dikuasai oleh bentuk-bentuk universal. Akibat-akibat bukan ditimbulkan oleh bentuk partikular khusus, melainkan oleh sebab dari suatu sifat yang tepat. Oleh karena itu, kesedian menerima perubahan, watak-watak dasar sesuatu adalah formal dan universal, bukan materi dan idiosinkratik.
Ketiga. Dari daya imajinasi yang membimbing insting binatang. Binatang tidak mencari air minum atau makanan tertentu, seperti teman mencari teman, atau orang tua mencari keturunan, tetapi makanan atau air apapun yang dapat memenuhi tabi’at dasar mereka. Binatang tidak mempunya konsep-konsep universal. Gagasan yang menjelma dalam tingkah laku mereka pasti hadir secara implisit dan objektif, bukan eksplisit dan subjektif.
Keempat. Dari kerja pikiran itu sendiri. Kita menduga bahwa kita memahami suatu subtansi sepanjang kita dapat menisbatkan predikat-predikat terhadapnya; tanpa predikat-predikat itu, kita tidak mengetahui apa-apa tentangnya dan kita pun tidak dapat mengatakan bahwa kita benar-benar memahami.
 Argumentasi terkahir ini, jika benar, membuktikan bahwa akal manusia tidak bisa direduksi menjadi jasmani atau suatu fungsi inderawi belaka. Dari sini, menurut Dadi Supriyadi, Ibnu Bajjah terbukti memandangnya sebagai suatu langkah mudah ke arah akal aktif hipostatik, sebagai sumber dan pendorong rasionalitas manusia. Argumen pertama Ibnu Bajjah nampaknya sejajar dengan argumen desain Stoa, yang menawarkan suatu imanensi spritual yang disukai kaum Paripatetik dan Neoplatonik sebagai alternatif bagi imanensi jasmani yang disukai kaum Stoa dalam menjelaskan urutan sarana ke tujuan dalam alam semesta ini. Argumen kedua dan ketiga sama-sama bertentangan dengan beberapa bentuk reduksi nominalis. Kedua argumen itu bermaksud menetapkan akal aktif sebagai satu-satunya solusi terpercaya bagi masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh materialisme.[17]
Teori dapat dilihat dari kemungkinan wahyu kenabian dan pengetahuan khusus orang-orang yang dekat dengan Tuhan, yaitu para wali, yang di antaranya ia sebutkan para sahabat Nabi. Melalui interaksi khusus antara akal dan imajinasi, orang-orang itu memperoleh dari malaikat, yaitu, menurut bahasa para filsuf, mereka memperoleh dari intelegensi-intelegensi tak berwujud yang mengatur bola-bola langit, suatu “penglihatan hati”, demikian Ibnu Bajjah menyebutnya yang menggemakan ungkapan Scorates tentang mata hati.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa teori Ittishal Ibnu Bajjah, yaitu tentang hubungan manusia dengan akal  aktif. Tujuan teori ini adalah bagaimana cara mencapai, mengenal dan mengetahui Tuhan, yaitu dengan cara mengetahui perbuatan-perbuatan Tuhan, memahami sesuatu melalui gagasan universalnya. Sebab setiap perbuatan ada tujuannya, baik perbuatan manusia maupun Tuhan, baik bersifat jasmani atau rohani.[18]





BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang bisa diambil dari pemikiran Ibnu Bajjah adalah bahwa pemikiran filsafatnya ada keterkaitan antara antara Ibnu Bajjah, Al-Farabi dan Aristoteles. Ibnu Bajjah juga banyak melahirkan karya-karya di bidang filsafat, di antara karyanya yang sangat menomental adalah tadbirul mutawahid dan Risalatu al-Ittishal. Konsep filsafat Ibnu Bajjah tidak jauh berbeda dengan filsuf-filsuf muslim sebelumnya, terutama dalam bidang hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Melalui konsep “ittishal”nya, Ibnu Bajjah berpendapat bahwa manusia, melalui akal aktif (aqal fa’al) bisa menjalin hubungan dengan Tuhan. Dalam mengelaborasi “akal aktif”, Ibnu Bajjah memaparkan empat prinsip tentang proses akal tersebut dapat terbentuk, yaitu sebagai berikut: Pertama. Dari hubungan antara sarana dan tujuan, Kedua. Dari proses perubahan. Ketiga. Dari daya imajinasi yang membimbing insting binatang.  Keempat. Dari kerja pikiran itu sendiri.
Selain hal di atas, yang merupakan konsep Ibnu Bajjah yang sering menjadi acuan para cendekiawan, Ibnu Bajjah juga banyak melahirkan beberapa konsep filsafat –seperti halnya dalam konsep materi. Menurutnya konsep tentang materi yang ada sebelumnya, di mana bentuk dapat berinteraksi dengan sendirinya, merupakan pernyataan yang salah. Baginya,  materi dapat bereksistensi harus ada bentuk—, serta beberapa konsep lainnya seperti konsep ahklak (etika), jiwa, pengetahuan dan lain sebagainya.







DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensikolopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1997.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1996.
Mustafa, Ahmad, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia, Bandung: 2010.




[1] Dewan Redaksi Ensikolopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hal. 152-153.
[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal.157.
[3] Dewan Redaksi Ensikolopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hal. 152.
[4] Dewan Redaksi Ensikolopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hal. 152.
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal.157.
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal.157.
[7] Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 258.
[8] Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 259.
[9] Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 260.
[10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal.159.
[11] Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 261.
[12] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal. 159.
[13] Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 264.
[14] Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia, Bandung: 2010, hal. 204.
[15] Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 264.
[16] Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia, Bandung: 2010, hal. 205-206.
[17] Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia, Bandung: 2010, hal. 206.
[18] Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia, Bandung: 2010, hal. 207.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar