BAB
I
PENDAHULUAN
Ibnu
Bajjah atau lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh merupakan filsuf dan dokter Muslim Andalusia
yang dikenal di Barat dengan nama Latinnya, Avempace. Ia lahir di Saragossa di
tempat yang kini bernama Spanyol dan meninggal di Fez pada 1138. Pemikirannya
memiliki pengaruh yang jelas pada Ibnu Rushdi dan Yang Besar Albert. Kebanyakan
buku dan tulisannya tidak lengkap (atau teratur baik) karena kematiannya yang
cepat. Ia memiliki pengetahuan yang luas pada kedokteran, Matematika, dan
Astronomi. Sumbangan utamanya pada filsafat Islam ialah gagasannya pada
Fenomenologi Jiwa, namun sayangnya tak lengkap.
Kehebatannya dalam filasat setara dengan Al-Farabi ataupun
Aristoteles. Pemikirannya tentang filsafat sangat memengaruhi Ibnu Rusyd dan
Albertus Magnus. Ibnu Bajjah menemukan gagasan filsafat ketuhanan. Ia
menetapkan manusia boleh berhubungan dengan akal fa'al melalui perantaraan ilmu
pengetahuan dan pembangunan potensi manusia. Singkatnya, Ibnu Bajjah merupakan
filsuf Islam yang kaya konsep pemikiran filsafatnya. Oleh karenya, cukup urgen
untuk dibahas dan mengeksplore pemikiran-pemikiran filsafatnya, dengan tujuan,
kepentingan akademik khususnya, dan kemudian berupaya mengembangkan kosep
filsafatnya lebih jauh.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh
at-Tujibi al-Andalusi as-Saraqusti. Di
Barat ia dikenal dengan nama Avempace.
Ia dilahirkan pada pertengahan abad ke 12 Masehi, tepatnya pada tahun
1139, demikian versi yang dikemukan oleh buku “Ensiklopedi Islam”.[1]
Namun, menurut A. Hanafi Ibnu Bajjah dilahirkan pada abad ke-11 Masehi,
sedangkan masalah tepat tahun kelahirannya tidak ada kepastian.[2] Ia
berasal dari keluarga at-Tujib, karena itu ia juga dikenal dengan at-Tujibi. Ia
dibesarkan di Zaragoza dan menyelesaikan pendidikan dasar menengahnya di sana.
Para pakar sejarah memandangnya sebagai orang yang berpengetahuan
luas dan menguasai tidak kurang dari dua belas bidang ilmu. Karena Ibnu Bajjah
menguasai sastra, tata bahas dan filsafat kuno, oleh tokoh sezamannya ia
disejajarkan dengan asy-Syaikh ar-Ra’is, Ibnu Sina. Lantaran
ketenarannya itu, Abu Bakar Sahrawi,
gubenur Zaragoza, mengangkatnya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahannya.
Ketika Zarogoza jatuh ke tangan Alfonso I, Raja Aragon, pada tahun
512 H/ 1118 M, Ibnu Bajjah perge ke Seville dan tinggal di sana sebagai
dokter/tabib. Sesudah Seville juga diduduki Raja Al-Fonso I, beberapa waktu
kemudian, ia pindah ke Granada. Di Syatibah (Jativa, selatan Valencia,
Spanyol), ia dipenjarakan oleh amir setempat dengan tuduhan membuat bid’ah,
tetapi segera dibebaskan. Setelah bebas, ia pergi ke Fez (Maroko), memasuki
istana gubenur Abu Bakar Yahya bin Yusuf bin Tasyfin dan lagi-lagi menduduki
kursi jabatan lantaran keahlian dan kemampuannya. Ia menjadi pejabat selama
kurang lebih 20 tahun. Musuh-musuhnya mencapnya sebagai ahli bid’ah dan
beberapa kali mengadakan uasaha pembunuhan terhadapnya. Semua usaha itu gagal
dan baru berhasil dilakukan oleh seorang dokter dengan cara di racun.[3]
Menurut Ibnu Tufayl, generasi pertama sarjana-sarjana Spanyol
menyibukkan diri dengan studi ilmu matematika dan generasi selanjutnya
memberikan sumbangan yang menentukan terhadap studi logika, tetapi sumbangan mereka
itu kurang lengkap. Akhirnya kelompok baru para sarjana yang lebih ahli di
bidang filsafat abstrak, muncul di atas panggung. Ibn Bajjah berada di garis
terdepan kelompok terakhir ini. Oleh karena itulah ia dapat dikatagorikan
sebagai tokoh utama dan pertama dalam sejarah filsafat Spanyol-Arab.[4]
B.
Hasil Karya Ibnu Bajjah
Ketenaran ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Bajjah dituangkan olehnya
dalam banyak karya, di antara karya tersebut adalah:
1.
Beberapa
risalah dalam ilmu logika dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan
Escurial (Spanyol).
2.
Risalah
tentang jiwa.
3.
Risalah
al-Ittisal, mengenai manusia dan akal Faal.
4.
Risalah
Al-Wada’, berisi tentang ilmu pengobatan.
5.
Beberapa
risalah tentang ilmu falaq dan ketabiban.
6.
Risalah
Tadbir al-Mutawahhid.
7.
Beberapa
ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain; Aristoteles, al-Farabi, Porphyrius
dan lain sebagainya.
Menurut Carra de Vaux, seperti yang diungkapkan A. Hanafi, bahwa di
perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajjah.[5]
Di antara karya-karya tersebut yang paling penting adalah risalah Tadbir
al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala
macam keburukan masyarakat, yang disebutnya mutawahhid, yang memiliki
arti “menyendiri”. Menurut Hanafi, isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga
memungkinkan kita mempunyai gambaran-gambaran tentang usaha si penyendiri
tersebut untuk bertemu dengan akal faal dan menjadi salah satu unsur
pokok dari negeri idaman.[6]
Karya yang juga tidak kalah pentingnya, Risalah al-Ittishal, Ibnu
Bajjah membagi manusia dalam tiga golongan, yaitu kaum awam (al-jumhur),
an-Nudzdzar (kaum khawas atau kaum cendekiawan) dan kaum yang
bahagia. Selain itu, dalam risalah ini juga dibahas antara hubungan manusia
dengan akal faal (akal aktif) yang bisa menjadikan manusia dapat berhubungan
dengan Tuhan.
C.
Ajaran Filsafat Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah adalah ahli yang menyandarkan pada teori dan paktek
ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi
ilmu spekulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika, sebagaimana yang
dikatakan De Boer dalam The History of Philosophi in Islam, bahwa dia
benar-benar sesuai dengan Al-Farabi dalam tulisan-tulisan logikanya dan secara
umum setuju dengan Al-Faraby, bahkan dengan dokrin-dokrin fisika dan
metafisikanya.[7]
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa Ibnu Bajjah menyandarkan
filsafat dan logikanya pada karya-karya Al-Faraby, namun penelitian filsafat
yang ia lakukan tidak sama dengan yang dilakukan Al-Faraby, karena sumber
pemikiran filsafat Al-Faraby hanya berdasarkan nalar semata. Seperti halnya
juga Al-Faraby, Ibnu Bajjah sangat mengagumi pemikiran filsafat Aristoteles,
itulah sebabnya Ibnu Bajjah banyak menulis uraian tentang filsafat Aristoteles.
Oleh karenanya, Ibnu Bajjah juga melahirkan banyak pemikiran filsafat yang
berkaitan dengan fisika. Di antara konsepnya dalam bidang filsafat, ialah:
1.
Materi
dan Bentuk
Pendapat De Boer bahwa: “Ibnu Bajjah memulai deasumsi bahwa materi
itu tidak bisa bereksistensi tanpa adanya bentuk sedangkan bentuk dapat
bereksistensi dengan sendirinya tanpa harus adanya materi”. Pernyataan tersebut
menurut Ibnu Bajjah adalah pernyataan yang keliru. Menurutnya, materi dapat
bereksistensi harus ada bentuk. Dia berargumen jika materi berbentuk, maka ia
akan terbagi menjadi materi dan bentuk dan begitu seterusnya. Ibnu Bajjah
menyatakan bahwa bentuk pertama merupakan suatu bentuk abstrak yang
bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai “tidak mempunyai bentuk”.[8]
Dalam tulisan-tulisan Ibnu Bajjah, kata bentuk dipakai untuk
mencakup berbagai arti; jiwa, sosok, kekuatan, makna dan konsep. Menurut
pendapatnya, bentuk suatu tubuh memiliki tiga tingkatan; 1). Bentuk jiwa umum
atau bentuk intelektual. 2). Bentuk kejiwaan khusus. 3). Bentuk fisik.
Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan sebagai berikut:
a.
Bentuk-bentuk
tubuh sirkular hanya memiliki hubungan sirkular dengan materi,
sehingga bentuk-bentuk itu
bisa membuat kejelasan materi dan menjadi sempurna.
b.
Kejelasan
materi yang bereksistensi dalam materi.
c.
Bentuk-bentuk
yang bereksistensi dalam indera-indera jiwa-akal sehat, indera hayali, ingatan
dan sebagainya, dan yang berada di antara bentuk-bentuk kejiwaan dan kejelasan
materi.
Bentuk-bentuk itu yang berkaitan dengan aktif, oleh Ibnu
Bajjah, dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan
umum dan bentuk-bentuk yang berkaitan denga akal sehat dinamakan bentuk-bentuk
kejiwaan khusus. Perbedaan ini dilakukan karena bentuk-bentuk kejiwaan umum
hanya memiliki satu hubungan dan hubungan itu ialah dengan yang menerima,
sedangkan bentuk-bentuk kejiwaan khusus memiliki dua hubungan, hubungan khusus
dengan yang berakal sehat dan hubungan umum dengan yang terasa.[9]
2.
Akhlak
Ibnu Bajjah membagi perbuatan-perbuatan manusia ke dalam dua
bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif –naluri dan
hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh, yang disebutnya
dengan tindakan hewani. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran
yang lurus dan kemauan yang bersih, yang disebutnya dengan tindakan manusia.[10]
Ibnu Bajjah membawa perhatian kita kepada unsur-unsur manusiawi
aktif, sebut Ahmad Mustafa, sebab manusia terlalu tinggi untuk dikualifikasikan
dengan unsur-unsur pasif yang bersifat material atau hewani. Unsur manusia
untuk mempelajari adalah unsur pasif, sedangkan unsur aktif menginginkan
mencapai kesempurnaan. Dan pengulangan cara itu dilaksanakan hanya melalui
pendapat dan ruh yang berhasarat. Apa yang dilaksanakan karena ruh yang
mengandung hasrat merupakan tindakan yang dilakukan “agen” demi dirinya
sendiri. Sedangkan apa yang dilakukan pendapat adalah tindakan yang dilakukan
untuk mencapai tujuan yang lain. Ruh yang mengandung hasrat menginginkan suatu
objek yang besifat kekal, keinginan itu disebut kesenangan dan ketiadaannya
disebut kejemuan dan kesakitan. Menurut Ibnu Bajjah, siapapun yang betindak
dengan cara ini dianggap telah melakukan tindakan hewani, dan sebaliknya,
perbuatan yang didasari pada pendapat adalah tindakan manusiawi.[11]
Menurut Ibnu Bajjah, pangkal perbedaan di antara keduanya bukan
perbuatannya melainkan motif yang mendorongnya. Dalam upaya mencari klasifikasi,
apakah suatu perbuatan itu disebut tindakan manusiawi atau hewani, perlulah
memilki spekulasi di samping kemauan. Dari sifat spekulatif dan kemauan ini,
Ibnu Bajjah membagi kebajikan menjadi dua jenis yakni kebajikan formal dan
kebajikan spekulatif. Kebajikan formal merupakan sifat yang dibawa sejak lahir
tanpa adanya pengaruh maupun spekulasi. Sedangkan kebajikan spekulatif didasarkan pada kemauan bebas dan spekulasi.
Dan tindakan yang dilakukan demi kebenaran adalah tindakan Tuhan bukan manusiawi,
sebab hal ini jarang terdapat pada manusia.
Setiap orang yang hendak menundukkan tindakan hewani pada dirinya,
menurut Ibnu Bajjah, maka orang tersebut tidak lain hanya harus memulai dengan
melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka tindakan
hewani tunduk pada tindakan kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan
tidak ada kekurangannya, karena kekurangan manusia disebabkan tunduk pada
naluri.[12]
3.
Jiwa
Pembahasan terhadap jiwa, Ibnu Bajjah mendasarkan kepada fisika. Ia
memulai denga definisi jiwa dan menyatakan bahwa tubuh, baik yang alamiah
maupun yang tidak alamiah, tersusun dari materi dan bentuk-bentuk merupakan
perolehan permanen atau kenyataan tubuh. Kenyataan ini bermacam-macam ia
memiliki segala yang bereksistensi yang melaksanakan fungsi mereka tanpa harus
digerakkan atau segala yang bergerak atau aktif bila mereka diaktifkan. Tubuh
jenis kedua ini terdiri atas penggerak dan yang digerakkan. Sedangkan tubuh
yang tidak alamiah memiliki penggerak luar dan bentuk yang membuat nyata tubuh
inilah yang disebut dengan jiwa. Karena itu jiwa dianggap pernyataan pertama
dalam tubuh alamiah dan teratur yang bersifat nutritif (mengandung zat-zat
untuk badan), sensitif (kepekaan) dan imajinatif (rasional).[13]
Nutrisi mempunyai dua tujuan yaitu pertumbuhan dan reproduksi. Hal
ini disebabkan karena setiap makhluk yang fana harus melaksanakan suatu fungsi
khusus demi kedudukannya di alam raya ini. Lebih lanjut menurutnya, unsur ini
(nutrisi) tidak hanya menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menjaga
tubuh, melainkan juga menyediakan suatu kelebihan yang bermanfaat bagi
pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Apabila pertumbuhan itu tercapai, maka
kelebihan itu digunakan untuk reproduksi pada tubuh yang bersifat reproduktif. Unsur
reproduktif adalah akal aktual yang mengubah suatu jenis yang potensial menjadi
tubuh aktual.
Panca indera adalah merupakan lima unsur dari suatu indera tunggal
yaitu akal sehat dan akal sebagai realisasi penuh suatu tubuh secara
keseluruhan dan karena disebut sebagai jiwa. Unsur ini juga mensuplai materi
untuk unsur imajinasi yang terorganisir. Oleh karenanya unsur ini didahului
oleh sensasi yang mensuplai materi kepadanya. Sebab itu, sensasi dan imajinasi
telah dianggap sebagai dua jenis persepsi jiwa.
4.
Akal
dan Pengetahuan
Menurut Ibnu Bajjah, pengetahuan yang benar dapat diperoleh melalui
akal dan akal ini merupakan satu-satunya sarana yang dapat mewujudkan untuk
mencapai kemakmuran dan membangun kepribadiannya. Menurut dirinya, keajaiban
yang ada di antara akal dan unsur imajinasi adalah lewat ruh yang tajam.
Ibnu Bajjah percaya pada kemajemukan dan mengacu pada akal pertama
dan akal kedua. Ia berpendapat, akal manusia paling jauh adalah akal pertama.
Lebih jauh, ia menjelaskan tingkat-tingkat akal dengan mengatakan bahwa
sebagian akal secara langsung berasal dari akal pertama; sebagian lain berasal
dari akal-akal lain, hubungan antara yang diperoleh dan tempat asal akal yang
diperoleh itu sama dengan hubungan cahaya matahri yang ada di dalam rumah dan
cahaya matahari yang ada di halaman rumah.[14]
Menurut Ibnu Bajjah, akal manusia, setapak demi setapak, mendekati
akal pertama dengan dua hal, yaitu: Pertama. Meraih pengetahuan yang
didasarkan pada bukti, yang dalam hal itu, akal paling tinggi direalisasikan
sebagai bentuk. Kedua. Memperoleh pengetahuan tanpa mempelajarinya atau
berusaha meraihnya. Pendekatan melalui cara kedua ini adalah suatu metode yang
digunakan oleh orang-orang sufi khususnya Al-Ghazali, karena metode ini dapat
mencapai pengetahuan tentang Tuhan.[15]
5.
Teori
Ittishal
Seperti halnya Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Bajjah percaya bahwa
pengetahuan tidak diperoleh semata-mata melalui panca indera.
Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya, isi ilmu yang prediktif dan
eksplanatif serta landasan bagi penalaran opodeiktik tentang alam, hanya dapat
dicapai dengan bantuan akal aktif (aqal fa’al).
Dalam mengelaborasi “akal aktif”, Ibnu Bajjah memaparkan empat
prinsip tentang proses akal tersebut dapat terbentuk, yaitu sebagai berikut:[16]
Pertama. Dari hubungan
antara sarana dan tujuan, sarana khususnya sangat diperlukan bagi tujuan di
alam; tetapi di alam gagasan, tujuanlah yang pertama-tama hadir. Dan gagasan
itu biasanya mendahului badan, atau tidak akan ada kepastian yang mengatasi
(dan mengarahkan) permainan kejadian dan kehancuran tak terkendali dan yang
sebaliknya.
Kedua. Dari proses
perubahan. Segala sesuatu menjadi bukan seperti mereka sekarang; mereka tidak
menjadi sebab-sebab, tetapi menjadi seperti sebab-sebab yang mengahasilkan
perubahan dalam diri mereka. Dengan demikian, perubahan dikuasai oleh
bentuk-bentuk universal. Akibat-akibat bukan ditimbulkan oleh bentuk partikular
khusus, melainkan oleh sebab dari suatu sifat yang tepat. Oleh karena itu,
kesedian menerima perubahan, watak-watak dasar sesuatu adalah formal dan
universal, bukan materi dan idiosinkratik.
Ketiga. Dari daya
imajinasi yang membimbing insting binatang. Binatang tidak mencari air minum
atau makanan tertentu, seperti teman mencari teman, atau orang tua mencari
keturunan, tetapi makanan atau air apapun yang dapat memenuhi tabi’at dasar
mereka. Binatang tidak mempunya konsep-konsep universal. Gagasan yang menjelma
dalam tingkah laku mereka pasti hadir secara implisit dan objektif, bukan
eksplisit dan subjektif.
Keempat. Dari kerja
pikiran itu sendiri. Kita menduga bahwa kita memahami suatu subtansi sepanjang
kita dapat menisbatkan predikat-predikat terhadapnya; tanpa predikat-predikat
itu, kita tidak mengetahui apa-apa tentangnya dan kita pun tidak dapat
mengatakan bahwa kita benar-benar memahami.
Argumentasi terkahir ini,
jika benar, membuktikan bahwa akal manusia tidak bisa direduksi menjadi jasmani
atau suatu fungsi inderawi belaka. Dari sini, menurut Dadi Supriyadi, Ibnu
Bajjah terbukti memandangnya sebagai suatu langkah mudah ke arah akal aktif
hipostatik, sebagai sumber dan pendorong rasionalitas manusia. Argumen pertama
Ibnu Bajjah nampaknya sejajar dengan argumen desain Stoa, yang menawarkan suatu
imanensi spritual yang disukai kaum Paripatetik dan Neoplatonik sebagai
alternatif bagi imanensi jasmani yang disukai kaum Stoa dalam menjelaskan
urutan sarana ke tujuan dalam alam semesta ini. Argumen kedua dan ketiga
sama-sama bertentangan dengan beberapa bentuk reduksi nominalis. Kedua argumen
itu bermaksud menetapkan akal aktif sebagai satu-satunya solusi terpercaya bagi
masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh materialisme.[17]
Teori dapat dilihat dari kemungkinan wahyu kenabian dan pengetahuan
khusus orang-orang yang dekat dengan Tuhan, yaitu para wali, yang di antaranya
ia sebutkan para sahabat Nabi. Melalui interaksi khusus antara akal dan
imajinasi, orang-orang itu memperoleh dari malaikat, yaitu, menurut bahasa para
filsuf, mereka memperoleh dari intelegensi-intelegensi tak berwujud yang
mengatur bola-bola langit, suatu “penglihatan hati”, demikian Ibnu Bajjah
menyebutnya yang menggemakan ungkapan Scorates tentang mata hati.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa teori Ittishal Ibnu Bajjah,
yaitu tentang hubungan manusia dengan akal
aktif. Tujuan teori ini adalah bagaimana cara mencapai, mengenal dan
mengetahui Tuhan, yaitu dengan cara mengetahui perbuatan-perbuatan Tuhan,
memahami sesuatu melalui gagasan universalnya. Sebab setiap perbuatan ada
tujuannya, baik perbuatan manusia maupun Tuhan, baik bersifat jasmani atau
rohani.[18]
BAB
III
KESIMPULAN
Kesimpulan
yang bisa diambil dari pemikiran Ibnu Bajjah adalah bahwa pemikiran filsafatnya
ada keterkaitan antara antara Ibnu Bajjah, Al-Farabi dan Aristoteles. Ibnu
Bajjah juga banyak melahirkan karya-karya di bidang filsafat, di antara
karyanya yang sangat menomental adalah tadbirul mutawahid dan Risalatu
al-Ittishal. Konsep filsafat Ibnu Bajjah tidak jauh berbeda dengan
filsuf-filsuf muslim sebelumnya, terutama dalam bidang hubungan antara manusia
dengan Tuhannya. Melalui konsep “ittishal”nya, Ibnu Bajjah berpendapat
bahwa manusia, melalui akal aktif (aqal fa’al) bisa menjalin hubungan dengan
Tuhan. Dalam mengelaborasi “akal aktif”, Ibnu Bajjah memaparkan empat prinsip
tentang proses akal tersebut dapat terbentuk, yaitu sebagai berikut: Pertama.
Dari hubungan antara sarana dan tujuan, Kedua. Dari proses
perubahan. Ketiga. Dari daya imajinasi yang membimbing insting
binatang. Keempat. Dari kerja
pikiran itu sendiri.
Selain hal di atas, yang merupakan konsep Ibnu Bajjah yang sering
menjadi acuan para cendekiawan, Ibnu Bajjah juga banyak melahirkan beberapa
konsep filsafat –seperti halnya dalam konsep materi. Menurutnya konsep tentang
materi yang ada sebelumnya, di mana bentuk dapat berinteraksi dengan
sendirinya, merupakan pernyataan yang salah. Baginya, materi dapat bereksistensi harus ada bentuk—,
serta beberapa konsep lainnya seperti konsep ahklak (etika), jiwa, pengetahuan
dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensikolopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta: 1997.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang,
Jakarta: 1996.
Mustafa, Ahmad, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung,
1997.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan
Ajarannya, Pustaka Setia, Bandung: 2010.
[1] Dewan Redaksi
Ensikolopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1997, hal. 152-153.
[2] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal.157.
[3] Dewan Redaksi
Ensikolopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1997, hal. 152.
[4] Dewan Redaksi
Ensikolopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1997, hal. 152.
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal.157.
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal.157.
[7] Ahmad Mustafa,
Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 258.
[8] Ahmad Mustafa,
Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 259.
[9] Ahmad Mustafa,
Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 260.
[10] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal.159.
[11] Ahmad Mustafa,
Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 261.
[12] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal. 159.
[13] Ahmad Mustafa,
Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 264.
[14] Supriyadi,
Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia,
Bandung: 2010, hal. 204.
[15] Ahmad Mustafa,
Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal. 264.
[16] Supriyadi,
Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia,
Bandung: 2010, hal. 205-206.
[17] Supriyadi,
Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia,
Bandung: 2010, hal. 206.
[18] Supriyadi,
Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Pustaka Setia,
Bandung: 2010, hal. 207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar